REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asy'ari memberikan pandangannya terhadap pilihan model pemilu serentak yang membagi antara pemilu tingkat nasional dan lokal. Hal ini mengacu pada enam opsi model pemilu serentak yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan putusan nomor 55/PUU-XVII/2019.
Pemilu serentak nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI. Kemudian, beberapa waktu setelahnya diselenggarakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, serta bupati/wali kota.
Pemilu serentak tingkat nasional dan lokal itu dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent elections). Hasyim mengatakan, opsi ini telah disampaikan KPU kepada MK ketika memberi keterangan untuk perkara yang sedang berproses yakni nomor 16/PUU-XIX/2021 terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Itu disampaikan pendapat KPU di dalam sidang MK untuk perkara 16. Perkara 16 ini akan dilanjutkan pada tanggal 24 November," ujar Hasyim dalam keterangan tertulisnya dikutip laman resmi KPU RI, Selasa (23/11).
Sebab, dia mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan memilih opsi model pemilu serentak, mengingat hal tersebut masuk ranah pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. MK hanya memberi kata kunci keserentakan pemilu yang tidak boleh dipisah. "Opsi-opsi didalam putusan MK diserahkan ke pembentuk UU, levelnya bukan KPU memilih, ini levelnya para pembentuk UU, Presiden dan DPR," kata Hasyim.
Dia menjelaskan, keserentakan yang mesti dijaga ialah pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan presiden/wakil presiden, karena sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia salah satu cirinya dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian, dalam konstitusi tugas MPR melantik presiden terpilih berdasarkan surat terkait penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU.
"Berdasarkan itulah kemudian dilantik MPR gabungan anggota DPR dan DPD, maka dengan begitu logis bahwa Pemilu untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD tidak bisa dipisah-pisah keserentakannya," tutur Hasyim.
Hasyim meragukan opsi keserentakan itu di tengah kesepakatan politik pemerintah dan DPR untuk tidak merevisi UU Pemilu maupun UU Pilkada. Untuk itu, opsi-opsi ini statusnya bebas dan tidak berkaitan dengan ide amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa presiden.
"Kalau mau mengambil, katakanlah opsi empat itu kan ranahnya revisi UU Pemilu untuk mengatur keserentakan pemilu nasional, dan kemudian revisi UU pilkada untuk mengatur keserentakan pemilu daerah, faktanya tidak ada kehendak revisi," kata dia.