Rabu 24 Nov 2021 08:18 WIB

Harga Minyak Naik Setelah Pelepasan Cadangan Gagal

Amerika Serikat akan melepas jutaan barel cadangan minyak untuk mendinginkan pasar.

Petugas mengisi BBM kendaraan. Harga minyak naik ke level tertinggi satu pekan pada akhir perdagangan Selasa (23/11), setelah langkah Amerika Serikat (AS) dan negara-negara konsumen lainnya untuk melepaskan puluhan juta barel minyak dari cadangan mereka guna mencoba mendinginkan pasar.
Foto: Pertamina
Petugas mengisi BBM kendaraan. Harga minyak naik ke level tertinggi satu pekan pada akhir perdagangan Selasa (23/11), setelah langkah Amerika Serikat (AS) dan negara-negara konsumen lainnya untuk melepaskan puluhan juta barel minyak dari cadangan mereka guna mencoba mendinginkan pasar.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak naik ke level tertinggi satu pekan pada akhir perdagangan Selasa (23/11), setelah langkah Amerika Serikat (AS) dan negara konsumen lainnya melepaskan puluhan juta barel minyak dari cadangan mereka guna mencoba mendinginkan pasar. Namun, upaya itu gagal memenuhi beberapa harapan.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari melonjak 2,61 dolar AS atau 3,3 persen, menjadi menetap di 82,31 dolar AS per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Januari naik 1,75 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi ditutup di 78,50 dolar AS per barel.

Baca Juga

Itu persentase kenaikan harian terbesar untuk Brent sejak Agustus dan penutupan tertinggi sejak 16 November. Ini juga mendorong premi Brent atas WTI ke level tertinggi sejak pertengahan Oktober.

Amerika Serikat mengatakan pada Selasa (23/11) akan melepas jutaan barel minyak dari cadangan strategis berkoordinasi dengan China, India, Korea Selatan, Jepang dan Inggris, untuk mencoba mendinginkan harga setelah produsen OPEC Plus berulang kali mengabaikan seruan untuk lebih banyak memasok minyak mentah. Tetapi, para analis mengatakan, efek pada harga kemungkinan akan berumur pendek setelah bertahun-tahun penurunan investasi dan pemulihan global yang kuat dari pandemi Covid-19.

Pembicaraan tentang pelepasan cadangan terkoordinasi, dolar AS yang kuat dan potensi pukulan terhadap permintaan energi dari gelombang keempat kasus Covid-19 di Eropa telah menyebabkan harga Brent turun lebih dari 10 persen sejak mencapai level tertinggi tiga tahun di 86,70 dolar AS pada 25 Oktober.

Pemerintahan Presiden Joe Biden mengatakan, akan melepaskan 50 juta barel dari cadangan minyak strategis (SPR) AS, yang akan mulai memasuki pasar pada pertengahan hingga akhir Desember. "Pelepasan SPR terkoordinasi lebih kecil dari perkiraan dan tidak diragukan lagi akan dipenuhi oleh lebih sedikit produksi dari OPEC Plus," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA.

Aliansi OPEC Plus antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu termasuk Rusia sejauh ini telah menolak permintaan berulang dari Washington untuk memompa lebih banyak minyak.

Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al-Mazrouei mengatakan pada Selasa bahwa UEA melihat tidak ada logika dalam meningkatkan kontribusinya sendiri ke pasar global saat ini, menambahkan data teknis yang dikumpulkan menjelang pertemuan OPEC Plus mendatang pada Desember menunjukkan surplus minyak di kuartal pertama 2022.

Reli minyak terjadi menjelang laporan persediaan AS dari American Petroleum Institute (API), sebuah kelompok industri, padaSelasa dan Badan Informasi Energi AS pada Rabu waktu setempat. Analis memperkirakan data persediaan minyak mingguan AS terbaru menunjukkan penarikan 0,5 juta barel dari stok minyak mentah.

Baca juga : Jokowi: Investasi Jadi Jangkar Pemulihan Ekonomi

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement