Rabu 24 Nov 2021 13:36 WIB

Pakar Nilai Buruh Harus Bijak karena Ekonomi Masih Pemulihan

Sektor industri masih dalam fase memulihkan diri akibat hantaman pandemi Covid-19.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah buruh yang tergabung dalam Aliasi Buruh Jabar (ABJ) berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (2/10).
Foto: Abdan Syakura
Sejumlah buruh yang tergabung dalam Aliasi Buruh Jabar (ABJ) berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jabar, masih menjadi polemik. Hal tersebut, seiring adanya ancaman mogok nasional buruh yang menolak keputusan UMP Jabar hanya naik Rp 31.135. 

Menurut Ekonom dari Universitas Padjadjaran Ferry Hadiyanto, sebaiknya buruh lebih bijak dalam meminta kenaikan upah minimum. Karena, saat ini, sektor industri masih dalam fase memulihkan diri akibat hantaman pandemi Covid-19.

"Kalau misalnya terlalu tinggi, perusahaan kalau dapat keuntungan yang tadinya bisa untuk investasi di 2022, sehingga kemudian merekrut kembali tenaga kerja yang tadinya menganggur atau tenaga kerja baru. Tapi kalau begini kan uang profitnya hanya untuk tambahan upah," ujar Ferry kepada wartawan, Rabu (24/11).

Ferry mencontohkan, kalau naiknya misal Rp 100 ribu saja, maka Rp 100 ribu dikali sekian pekerja, itu akan menghabiskan keuntungan yang sebenarnya bisa digunakan untuk investasi sumber daya manusia atau barang produksi untuk 2022.

Ferry mengatakan, sah-sah saja jika buruh menyalurkan aspirasi mereka terkait kenaikan UMP dan UMK. "Kita saat ini lagi recovery dari pandemi Covid-19, banyak saudara yang terkena PHK gara-gara COVID-19. Kalau seandainya nanti ekonomi sudah baik dan normal kembali, dan tingkat kesejahteraan masyarakat sudah normal kembali, itu sah saja," katanya.

Ferry melihat sejumlah serikat buruh menuntut kenaikan upah karena melihat laju pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren positif. Misalnya, ekonomi di Jabar pada triwulan II/2021 secara year on year (yoy) tumbuh melejit 6,13 persen, sedangkan secara kumulatif hingga triwulan II/2021 tumbuh 2,54 persen. Hal ini menunjukkan pada triwulan II/2021 perbaikan ekonomi sudah terlihat semakin membaik, setelah empat triwulan terakhir ekonomi terkonstraksi karena dampak pandemi Covir-19.

"Perhitungan laju pertumbuhan ekonomi itu kan years on years, jadi kita baru mendapat kenaikan ekonomi itu di kuartal kemarin, jadi satu kuartal kemarin itu dimasukin ke rumus, jadi harus satu tahun full. Itu juga cuma 0, sekian persen saja, kemarin sempat naik jadi 6 persen, sekarang turun lagi tapi sudah positif pergerakannya, tapi kan itu kuartal dan berangkatnya dari negatif 4 untuk Jawa Barat," paparnya.

Jadi, kata Ferry, kalau dibilang pertumbuham ekonomi positif itu satu kuartal saja dan baru kemarin, sama seperti inflasi. Sehingga, tidak cocok kalau dijadikan patokan untuk kenaikan UMK dan tidak cocok dengan regulasinya. 

"Kan tukang hitungnya BPS, jadi sudah jelas sebenarnya. Jadi, itulah yang menurut saya jangan sampai sudah akan membaik secara ekonomi, lalu ada masalah lagi di sektor tenaga kerja," kata Ferry. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement