Notaris Rentan Dikriminalisasi, UUJN Didorong Dikaji Kembali
Red: Fernan Rahadi
Notaris/ilustrasi | Foto: snapnotary.com
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberitaan terkait kasus mafia tanah salah satu artis ibu kota menyeret profesi notaris ke permukaan. Hal ini disebabkan seorang notaris ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Notaris yang juga inisiator Kelompok Diskusi Notaris Pembaca Pendengar dan Pemikir (Kelompecapir), Dr Dewi Tenty, mengatakan adanya pemberitaan yang masif profesi notaris yang dikaitkan dengan mafia tanah perlu menjadi perhatian khusus. Terjadinya kasus yang berpotensi menjadi over kriminalisasi tersebut adalah puncak gunung es mengingat banyak kasus menimpa notaris dan PPAT di berbagai daerah.
"Salah satu faktornya yang kami lihat adalah UU Jabatan Notaris dinilai mengatur terlalu rinci tentang kewajiban dan larangan terhadap notaris sehingga menjadikan bumerang bagi notaris itu sendiri," jelasnya dalam diskusi bertema "Over Kriminalisasi Terhadap Pelaksanaan UUJN (Undang-Undang Jabatan Notaris)" yang digelar Kelompecapir baru-baru ini.
Menurut Dewi, UUJN sebagai payung hukum bagi notaris hendaknya dikaji kembali dengan merevisi pasal-pasal yang rentan terhadap pidana bagi notaris. Harus pula segera proses legislasi UU tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dalam pandangan Dewi Tenty, diskusi ini menghasilan poin penting di antaranya adalah sinergi dari pengurus organisasi profesi dengan majelis pengawas notaris mulai dari tingkat daerah, wilayah sampai pusat, agar perlindungan terhadap notaris maksimal.
"Harmonisasi antar lembaga juga makin penting, mengingat kini merebak biro jasa yang dibuat dengan KLBI yang sudah di tetapkan oleh BKPM tentang pengurusan badan hukum dan pertanahan yang notabene merupakan domain notaris dan PPAT sebagai pejabat umum,"jelasnya.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Padjajaran, Prof Romli Atmasasmita, over kriminalisasi artinya sesuatu yang merupakan tindak pidana ditetapkan melalui cara-cara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Prof Romli, fakta adanya notaris yang mengalami kriminalisasi dalam menjalankan jabatannya harus dilihat apakah termasuk kategori kriminalisasi atau over kriminalisasi.
"Jika kriminalisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka positif. Namun jika over kriminalisasi baru dosa," jelasnya.
Dalam menjalankankan jabatannya, notaris memiliki payung hukum yakni UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Meskipun ruang lingkup pekerjaan notaris adalah keperdataan, terkait dengan pembuatan akta, di mana dalam UU semua sanksinya peringatan dan administratif. "Tetapi tidak berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku, sepanjang bukti-bukti yang diperoleh penyelidik cukup, maka bisa dikenakan satu tindak pidana," jelasnya.
Dari ketentuan yang ada, dalam logika akal sehat tidak mungkin notaris melakukan penipuan, penggelapan dan pemalsuan. Jika itu terjadi mungkin ada orang lain yang berhubungan dengan notaris yang memalsukan, sehingga melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tersebut. "Kalau memang notaris berinsiatif melakukan penipuan, pemalsuan, penggelapan. Aneh ini, kekecualian dari norma yang tidak biasa," ungkapnya.
Namun di luar perundang-undangan ada hal penting yang juga harus dilakukan, yakni terkait dengan pengawasan jabatan notaris. Permasalahan yang dihadapi oleh notaris secara keseluruhan adalah belum adanya koordinasi, sinergi antara majelis pengawas, sinergi pengurus pusat dan daerah. Jika tidak ditangani dengan baik maka masalah-masalah yang dihadapi notaris dalam ruang lingkup keperdataan bisa menjadi pidana.