REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG --Ancaman resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada tahun 2050. Pada laporan yang dirilis oleh Global Review pada tahun 2016 itu, tingkat kematian disebut akan mencapai 10 juta jiwa per tahun.
"Prediksi tadi dapat terjadi apabila tidak ada upaya konkret dalam pengendalian penggunaan antimikroba. Oleh karena itu, perlu upaya bersama merealisasikan resolusi global yang diterjemahkan ke dalam Rencana Aksi Global dan Rencana Aksi Nasional dalam pengendalian AMR," ungkap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL), saat memberikan keynote speech sekaligus membuka Acara Puncak Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia Tahun 2021 di Indonesia, yang berlangsung di Nusa Dua, Badung, Bali, pada Rabu, (24/11).
Kondisi AMR mengacu pada keadaan saat bakteri, virus, jamur, dan parasite mengalami perubahan seiring dengan waktu sehingga tidak lagi merespon obat-obatan yang dirancang untuk membunuh mikroba-mikroba tersebut. Kondisi ini terjadi karena antimikroba diberikan dengan dosis dan indikasi yang tidak tepat.
Pendekatan One Health, disebut SYL, bisa menjadi panduan dalam memastikan bahwa semua pemangku kepentingan dari berbagai disiplin ilmu terlibat dalam proses membangun ketahanan dan memecahkan permasalahan kesehatan.
Pentingnya penggunaan pendekatan One Health karena AMR tidak lagi hanya dilihat sebagai masalah yang berdiri sendiri. Persoalan AMR terkait dengan berbagai sektor seperti kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, rantai makanan, pertanian, dan sektor lingkungan.
“One Health ini bertujuan untuk mencapai kesehatan yang optimal melalui komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi multi-sektoral. Semua sektor masyarakat harus terlibat, aktif dan bertanggung jawab atas penyebaran AMR,” ungkapnya.
Untuk sektor pertanian, serta peternakan dan kesehatan hewan, AMR menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan dan turut mengancam pengembangan kesehatan hewan.
“Untuk itu, kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk meningkatkan kapasitas sektor pertanian dalam mengelola resiko AMR dan membangun ketahanan terhadap dampak AMR,” jelas SYL.
Dengan menggunakan One Health atau kerangka kerja kesehatan terpadu, Kementan bersama kementerian, lembaga dan stakeholders terkait lain, telah menyiapkan rencana strategis serta peta jalan dalam upaya-upaya pengendalian dan penanggulangan AMR di Indonesia.
Langkah penting lainnya yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian adalah pengaturan penggunaan antibiotik di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan.
SYL berharap, sejumlah program yang dijalankan pemerintah dapat didukung oleh semua pihak. “Dibutuhkan komitmen bersama, tidak hanya di level Indonesia, tapi juga dengan lembaga-lembaga dunia, untuk mewujudkan gerakan pengendalian AMR,” ujar SYL.
Ajakan SYL mendapat sambutan positif dari Kepala Perwakilan Food and Agriculture Organization (FAO) di Indonesia, Rajendra Aryal. Dirinya menyebutkan pemerintah Indonesia telah menunjukkan upaya penanggulangan AMR dengan menerapkan Pendekatan One Health.
Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) telah dikembangkan dan diimplementasikan oleh pemangku kepentingan multisektoral.
“FAO telah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Layanan Hewan di bawah Kementerian Pertanian (Kementan) untuk memberikan dukungan teknis yang diperlukan agar tercapainya target RAN PRA dalam sistem produksi peternakan dan pangan,” tuturnya.
Rajendra menambahkan, pengendalian AMR tidak hanya cukup dilakukan melalui pendekatan institusional. Menurutnya penting bagi semua pihak untuk memperoleh saran dari pakar atau professional sebelum membeli dan menggunakan antimikroba dalam proses produksi dan kesehatan hewan.
“Kewaspadaan kita pada bahaya AMR akan mengarahkan pada sistem pertanian yang lebih berkelanjutan dan tangguh,” tegasnya.
Turut hadir memberikan sambutan, Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono menyebutkan bahwa dalam kerangka One Health, sangat penting bagi semua pihak untuk memberikan perhatian khusus pada persoalan kesehatan hewan.
“Bagaimanapun kesehatan hewan bisa berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Dan dampaknya bisa berupa kematian. Sehingga penting bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengerti,” ungkapnya.
Untuk itu, Kementan akan melakukan pemetaan untuk mengetahui kelompok masyarakat dan pelaku usaha yang belum memahami ancaman yang diakibatkan oleh AMR. Di sisi lain, Kementan pun akan mengidentifikasi wilayah-wilayah yang rentan mikroba.
“Data dari hasil mapping ini bisa menjadi dasar kita dalam menentukan action plan untuk mengendalikan AMR,” imbuh Kasdi.