Kamis 25 Nov 2021 08:03 WIB

Demokrat: Makin Rendah Presidential Threshold Semakin Baik

Demokrat menjadi salah satu pihak yang mendorong revisi UU Pemilu.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Mas Alamil Huda
Demokrat menjadi salah satu pihak yang mendorong revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu poin yang perlu direvisi adalah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen. Foto: Hakim MK Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Maria Farida Indrati (kiri), dan Hakim MK Saldi Isra memimpin Sidang Uji Materi Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Demokrat menjadi salah satu pihak yang mendorong revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu poin yang perlu direvisi adalah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen. Foto: Hakim MK Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Maria Farida Indrati (kiri), dan Hakim MK Saldi Isra memimpin Sidang Uji Materi Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya, mengatakan, Demokrat menjadi salah satu pihak yang mendorong revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu poin yang perlu direvisi adalah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.

"Kami berpikir semakin rendah (ambang batas) parlemen atau presidential threshold semakin baik. Sehingga membuka ruang demokrasi luas, termasuk partai-partai baru," ujar Riefky di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Rabu (24/11).

Baca Juga

Revisi UU Pemilu, kata Riefky, juga dapat lebih mengatur kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satunya dalam menentukan jadwal pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.

"Mengapa Demokrat juga terkait dengan menginginkan revisi UU Pemilu, karena hal-hal seperti ini yang sudah dikhawatirkan. Tapi oke kebijakan sudah diambil," ujar Riefky.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait keserentakan pemungutan suara pemilu. Para pemohon gugatan ini pada dasarnya ingin pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, serta anggota DPD RI tidak dibarengi dengan pemilihan anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota karena alasan beban kerja penyelenggara pemilu yang berat.

MK berpandangan, beban kerja yang berat, tidak rasional, dan tidak manusiawi sebagaimana didalilkan para pemohon sangat berkaitan dengan manajemen pemilu yang merupakan bagian dari implementasi norma. MK menilai, hal tersebut berkaitan dengan teknis dan manajemen atau tata kelola pemilu yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaraan pemilu serentak.

Menurut MK, apa pun pilihan model keserentakan yang dipilih oleh pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, sangat tergantung pada manajemen pemilu yang didesain penyelenggara pemilu. Tentu dengan dukungan penuh dari pembentuk undang-undang beserta pemangku terkait.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement