REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jika orang tua berkewajiban untuk memerintahkan anak melaksanakan kewajiban sholatlima waktu, lantas apakah orang tua tidak diperbolehkan memerintahkan dan juga memaksa anak untuk berjilbab?
Dilansir di Masrawy, Kamis (25/11), guna menjawab pertanyaan demikian, Guru Besar Ilmu Perbandingan Fikih di Universitas Al-Azhar Mesir, Syekh Ahmad Karimah, menjelaskan terlebih dahulu mengenai maksud dari hukum berhijab secara syariat dan kedudukan wali si perempuan terhadap berhijab.
Syekh Karimah menjelaskan, hijab yang sesuai syariat adalah penutup rambut setiap Muslimah dewasa. Yakni dari dahi hingga ujung tengkuk dan di antara telinga. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah An Nur penggalan ayat 31:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ “Wal-yadhribna bikhumuri hinna ala juyubihinna.” Yang artinya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
Hal ini sebagaimana pula yang disampaikan Rasulullah ﷺ sebagai berikut:
إن المرأةَ إذا بلغتِ المحيضَ لم يصلُحْ أن يُرَى منها إلا هذا وهذا “Innal-marata idza balaghatil-mahidha lam tashluh an yura minha illa hadza wa hadza.”
Yang artinya, “Sesungguhnya apabila wanita sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini.” Dalam riwayat lain, Nabi bersabda yaitu sebagai berikut ini:
لا يَقبَلُ الله صلاةَ حائض إلا بخمارٍ “Laa yaqbalullaha as-shalata haaidh illa bikhimaarin.”
Yang artinya, “Tidaklah Allah menerima shalatnya wanita yang telah baligh, kecuali dia memakai khimar (jilbab).”
Mengenai kedudukan ayah atau suami tentang jilbab seorang wanita, Syekh Karima mengatakan bahwa jika seorang Muslimah berada di bawah perwalian ayahnya dan belum menikah karena alasan apapun, atau jika dia diceraikan atau menjadi janda, maka dia berada dalam perwaliannya sebagai jaminan fisik dan dia tinggal bersamanya.
Oleh karena itu si wali wajib memerintahkannya untuk melakukan kebaikan dan melarangnya melakukan kejahatan. Jika dia mengabaikannya, maka menurut Syekh Karimah yang bersangkutan akan dikenakan sanksi. Sebab sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits:
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، “Kullukum ra’in wa kullukum masulun an raiyatihi.” Yang artinya, “Setiap orang adalah pemimpin dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Sementara jika perempuan yang bersangkutan menikah, maka otoritas berada di suami. Bukan ayah.
Syekh Karima menekankan bahwa yang perlu digarisbawahi di sini adalah sebatas pada perintah saja, bukan memaksa. Dalam agama tidak ada paksaan. Yang ada adalah amar makruf dan nahi mungkar, dengan adab yang baik dan melakukan bujukan yang lebih lembut.
Sumber: masrawy