REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan akan kembali melakukan survei biaya hidup (SBH) untuk mendapatkan pola konsumsi masyarakat terbaru. Data tersebut akan menjadi diagram timbang terbaru dalam penghitungan tingkat inflasi yang dicatat BPS setiap bulan.
Kepala BPS, Margo Yuwono, mengatakan, biaya hidup sebagai tahun dasar penghitungan inflasi oleh BPS terakhir diperbarui pada 2018 lalu. Ia mengatakan, seiring tren belanja daring dan pola konsumsi masyarakat yang mengalami disrupsi pasca pandemi, terdapat banyak perubahan konsumsi dari masyarakat.
"Pola konsumsi masyarakat telah berubah karena ada pergeseran sehingga perlu adanya penyesuaian. Kita harus tahu pola konsumsi yang baru," kata Margo dalam Workshop Wartawan BPS, Kamis (25/11).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, survei yang dilakukan terdiri dari SBH urban yang mencakup 90 kabupaten/kota dengan jumlah 35.800 rumah tangga. Kemudian SBH perdesaan sebagai tambahan survei terdiri dari 60 kabupaten dengan jumlah 21.700 rumah tangga.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengatakan, kehadiran e-commerce mengubah pola belanja masyarakat dalam negeri. Termasuk, dari segi harga-harga barang yang diterima oleh konsumen. Hal itu secara langsung bakal mengubah cara penghitungan inflasi.
Ateng menambahkan, inflasi yang dirilis saat ini oleh BPS mengacu pada pola belanja masyarakat disituasi normal sebelum pandemi. Seiring pandemi yang berjalan hampir dua tahun, BPS mendapatkan banyak masukan untuk lebih memperhatikan perubahan pola konsumsi dalam merilis angka inflasi nasional.
Selain itu, kemungkinan terdapat tambahan komoditas yang dibelanjakan oleh masyarakat. Berdasarkan sistem penghitungan saat ini ada 800 komoditas dominan yang selalu disurvei oleh BPS untuk menghitung tingkat inflasi.
"Dengan survei biaya hidup yang kita lakukan tahun depan kita akan mendapatkan gambaran pola belanja masyarakat yang sebenarnya ada," kata dia.