REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Soebagyo heran dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. MK memutuskan, UU Cipta Kerja (Ciptaker) atau dikenal juga dengan Omnibus Law Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945.
Firman menilai, ada kesalahan tafsir hingga membuat UU Ciptaker dianggap inkonstitusional. Hakim MK, kata dia, salah menafsirkan penggunaan frasa Omnibus Law.
"Kecewa ya tentunya kecewa. Itu kan masalah tafsir. Itu disebut bertentangan dengan UUD dan konstitusi karena hakim yang 5 orang itu mengacu ke metode atau sistem omnibus law," kata Firman kepada Republika.co.id, Kamis (25/11).
Firman meyakini tak ada penggunaan kata Omnibus Law secara resmi di UU Ciptaker. Omnibus law adalah konsep atau metode pembuatan regulasi yang menghimpun sejumlah aturan di mana substansi setiap aturan berbeda-beda.
"Padahal dalam UU Ciptaker tidak ada sepatah kata pun kalimat atau frasa yang menyebutkan Omnibus Law," ujar politikus dari partai Golkar itu.
Walau demikian, Firman menghormati putusan MK sebagai hukum tertinggi di Tanah Air. Ia berkomitmen menjalankan rekomendasi MK soal perbaikan UU Ciptaker. "Tapi karena ini sudah takdir, sudah diputuskan 5 hakim, maka kita hormati," ucap Firman.
Diketahui, MK menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945. UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'," kata Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan amar putusan.