REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mewaspadai inflasi tinggi yang terjadi di berbagai negara. Hal itu sebagai dampak yang harus dihadapi di tengah upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, beberapa negara masih menghadapi inflasi tinggi seperti Turki dan Argentina.
“Negara emerging yang mengalami inflasi tinggi seperti Argentina karena sedang mengalami krisis keuangan 52 persen inflasinya selama dua kuartal, sekarang Turki juga dengan inflasi mencapai 20 persen dan nilai tukar yang mengalami depresiasi sangat tajam yaitu 30 persen,” ujarnya saat konferensi pers APBN KiTA secara virtual, Kamis (25/11).
Sri Mulyani menjelaskan, inflasi tinggi di Turki dan Argentina diikuti depresiasi yang tajam. Hal ini karena faktor gap supply demand serta dirupsi yang persisten.
Kendati demikian, Sri Mulyani menyebut kondisi Indonesia jauh lebih baik. Hal ini terjaga salah satunya akibat disrupsi supply masih terbatas dan kenaikan daya beli belum maksimal.
“Indonesia adalah sedikit negara yang inflasinya terjaga di 1,7 dan sisi nilai tukar relatif stabil bahkan sedikit mengalami depresiasi," katanya.
Ke depan, Sri Mulyani memastikan pemulihan ekonomi di Indonesia akan terus dimaksimalkan. "Ini menggambarkan salah satu kekuatan dalam pemulihan ekonomi kita untuk menjaga momentum growth sekaligus menjaga tekanan inflasi dan nilai tukar akibat perubahan environment global," ucapnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan, Indonesia beruntung memiliki angka inflasi rendah saat ini, terutama di tengah Covid-19. Sehingga masyarakat tak kekurangan pasokan barang yang diperlukan.
"Kita beruntung memiliki inflasi yang rendah, karena pasokan di dalam negeri yang terjaga," ungkap Margo dalam pelatihan media di Jakarta, Kamis.
Dengan demikian, ia menilai masyarakat di Tanah Air belum pernah merasakan kesulitan mendapatkan barang atau komoditas selama pandemi untuk dikonsumsi. Sehingga inflasi menjadi terkendali.
Di negara lain, tingkat inflasi mulai melonjak antara lain di Amerika Serikat hingga Eropa, di mana harga-harga barang dan komoditas melonjak sangat tinggi karena sempat terganggunya produksi barang akibat disrupsi Covid-19. "Di tingkat produsen beberapa negara, sudah ada pergerakan harga yang tinggi, bahkan keadaan ini ditakutkan akan sampai ke konsumen," ujar Margo.