REPUBLIKA.CO.ID, AFGHANISTAN— Taliban telah menandatangani kesepakatan dengan perusahaan Cpharm Australia yang bersedia menginvestasikan 450 juta dolar dalam industri pengolahan ganja di Afghanistan. Hal itu disampaikan oleh salah seorang juru bicara Taliban.
Penjabat juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Qari Saeed Khosty, mengatakan kesepakatan itu telah diselesaikan dan pekerjaannya dapat dimulai dalam beberapa hari. Khosty menjelaskan perusahaan akan menggunakan ganja proses untuk tujuan medis dan akan diberikan ribuan hektare lahan ganja.
Dia menambahkan, produksi dan pemrosesan ganja akan dikontrak secara legal dengan Cpharm. Namun di sisi lain sebuah perusahaan konsultan medis Australia, Cpharma, dalam siaran persnya menolak segala bentuk keterlibatan dalam kesepakatan ganja dengan Taliban.
“Kami telah mengetahui semalam banyak artikel media yang menyatakan bahwa Cpharm di Australia telah terlibat dalam kesepakatan dengan Taliban untuk terlibat dalam pasokan ganja dalam krim. Kami telah dihubungi hari ini oleh berbagai media di seluruh dunia mengenai hal ini,” ujar Cpharma dalam pernyataannya dilansir Khaama Press, Kamis (25/11).
Cpharma menambahkan mereka tidak memproduksi atau memasok apa pun. “Kami menyediakan layanan nasihat medis untuk industri farmasi di Australia. Kami tidak memiliki produk di ARTG. Kami tidak memiliki hubungan dengan ganja atau Taliban. Kami tidak tahu dari mana rilis media Taliban berasal dan ingin meyakinkan semua orang bahwa itu tidak boleh terhubung ke Cpharm Pty Ltd Australia,” tambahnya.
Hal ini terjadi karena Taliban sebelumnya telah berkomitmen untuk menindak ganja dan pemrosesan opium di Afghanistan, serta tidak akan mengizinkan mantan anggota terlibat dalam bisnis produksi obat.
Afghanistan saat ini sedang mengalami krisis ekonomi dan kemanusiaan dengan lebih dari 95 persen populasi di bawah garis kemiskinan selama berbulan-bulan sekarang. Ini adalah inisiatif pertama yang diumumkan oleh Taliban tapi dikritik secara luas oleh pengguna media sosial Afghanistan.
Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan dengan paksa pada 15 Agustus 2021, meskipun mitra internasional mendesak untuk kembali berkuasa melalui penyelesaian politik yang dinegosiasikan selama berbulan-bulan di Doha, Qatar dengan delegasi baik dari pihak Taliban dan pemerintah Afghanistan.
Komunitas Internasional mengatakan mereka tidak akan mengakui pemerintah Taliban sampai pemerintah inklusif dengan masuknya perempuan dan kelompok etnis dan agama lainnya tidak terbentuk di Afghanistan. Di sisi lain, Amerika Serikat dan Taliban akan melanjutkan pembicaraan beberapa pekan mendatang di Doha, Qatar dengan fokus pada operasi kontraterorisme melawan ISIS-K dan Al-Qaeda di Afghanistan.