REPUBLIKA.CO.ID, PENZBERG -- Imam masjid di Penzberg, Jerman, Benjamin Idriz merupakan salah satu tokoh komunitas muslim. Idriz memiliki peran penting antara komunitas Muslim dan masyarakat Jerman.
Dalam wawancara khusus dengan media Qantara.de, ia berpendapat bahwa masjid harus menjadi tempat diskusi terbuka di mana pendapat kontroversial dimungkinkan. Dan berikut sejumlah kutipan wawancara dengan Idriz, dilansir dari Qantara pada Kamis (25/11):
- Debat publik yang panas saat ini sedang berlangsung tentang masalah adzan di Cologne Bagaimana Anda menangani masalah ini di Penzberg?
Isu adzan mengemuka bagi kami sekitar setahun yang lalu, ketika masjid-masjid ditutup karena pandemi. Saya memiliki ide spontan untuk mengumandangkan adzan di hari Jumat sebagai sinyal kepada umat Islam bahwa kami masih di sana, sehingga mereka tidak kehilangan harapan dalam (situasi) 'lockdown'. Kami mengajukan aplikasi ke dewan kota Penzberg.
Begitu ide itu keluar, itu memicu banyak diskusi, dengan surat-surat kepada editor di surat kabar dan demonstrasi yang diselenggarakan oleh kelompok Islamofobia dari Munich. Mereka datang ke Penzberg khusus untuk itu. Saat itulah saya menyadari keinginan kami untuk mengumandangkan adzan telah memicu kontroversi.
- Bagaimana sikap Anda soal demonstrasi itu?
Setelah membicarakannya dengan wali kota, saya menarik permintaan saya. Mungkin waktunya belum matang untuk itu. Saya agak sedih karena masyarakat Jerman belum siap menoleransi adzan selama lima menit. Saya ingin tinggal di negara di mana lonceng gereja dapat didengar di depan umum sebagai simbol agama, tetapi juga di mana adzan tidak dilihat sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang kita pegang bersama, tetapi sebagai pengayaan. Ini juga akan memungkinkan kita untuk menjadi panutan bagi negara-negara Muslim di mana simbol-simbol Kristen tidak boleh terlihat di depan umum.
Mengkritik Arab Saudi dan negara-negara lain di mana orang-orang Kristen tidak diizinkan untuk mempraktikkan iman mereka di depan umum, namun tidak menyambut panggilan adzan bagi umat Islam, adalah sebuah paradoks. Namun, isu adzan seharusnya tidak mendominasi perdebatan Jerman tentang Islam. Ada pertanyaan yang jauh lebih penting dan mendasar yang memerlukan pembahasan lebih mendesak daripada adzan. Ini harus menjadi isu lokal dan bukan topik nasional di seluruh Jerman.