Jumat 26 Nov 2021 03:25 WIB

27 Migran Tewas Tenggelam di Selat Inggris

Sebanyak 27 migran tewas tenggelam di Selat Inggris pada Rabu (24/11) malam

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Sebuah perahu kecil tiup yang rusak terlihat di pantai di Wimereux, Prancis utara, Kamis, 25 November 2021 di Calais, Prancis utara. Anak-anak dan wanita hamil termasuk di antara sedikitnya 27 migran yang tewas ketika perahu kecil mereka tenggelam dalam upaya penyeberangan Selat Inggris, kata seorang pejabat pemerintah Prancis, Kamis.
Foto: AP/Michel Spingler
Sebuah perahu kecil tiup yang rusak terlihat di pantai di Wimereux, Prancis utara, Kamis, 25 November 2021 di Calais, Prancis utara. Anak-anak dan wanita hamil termasuk di antara sedikitnya 27 migran yang tewas ketika perahu kecil mereka tenggelam dalam upaya penyeberangan Selat Inggris, kata seorang pejabat pemerintah Prancis, Kamis.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Derita para migran yang hendak hidup di Eropa seolah tak pernah usai. Saat krisis di perbatasan Belarusia-Polandia masih berlangsung, sebanyak 27 migran tewas tenggelam di Selat Inggris pada Rabu (24/11) malam waktu setempat. Satu di antara korban adalah wanita hamil.

Para migran terombang-ambing setelah perahu karet yang mereka tumpangi kempis dan tenggelam. Perahu tersebut diduga bertubrukan dengan kapal kargo. Namun di sisi lain, perahu yang seharusnya hanya boleh menampung 10 orang, ditumpangi lebih dari 50 orang.

Baca Juga

Para nelayan sekitar menjadi yang pertama melaporkan tentang insiden tenggelamnya kapal para migran tersebut. Petugas dari layanan penyelamatan SNSM di Calais adalah yang pertama mencapai titik lokasi kejadian.

Presiden SNSM Bernard Baron mengungkapkan, saat ditemukan perahu karet yang ditumpangi para migran benar-benar telah kempis. Mereka terapung dan harus berjuang menahan dinginnya air Selat Inggris. "Ini adalah kondisi yang tak terbayangkan," kata Baron dikutip laman Evening Standard.

Sebagian besar migran, yang terdiri dari orang-orang Kurdi Irak dan Somalia, tak mengenakan pelampung. "Sering kali hanya wanita dan anak-anak yang memiliki jaket pelampung dan kapal-kapal ini tidak memiliki lampu navigasi atau penerima radar," ujar Baron.

Inggris dan Prancis akhirnya menggelar operasi penyelamatan gabungan. Tiga kapal dan tiga helikopter dikerahkan ke lokasi kejadian. Otoritas Prancis awalnya melaporkan sebanyak 31 migran tewas dalam insiden tersebut. Namun jumlahnya kemudian direvisi menjadi 27 jiwa.

Di antara korban tewas, tujuh di antaranya adalah wanita dan salah satunya sedang mengandung. Terdapat pula tiga anak-anak yang kehilangan nyawa dalam kejadian tersebut. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut insiden itu sebagai tragedi terbesar sejak pihaknya menghimpun data terkait peristiwa serupa di Selat Inggris pada 2014.

Regu penyelamat meyakini perahu para migran bertolak dari Loon-Plage, dekat Dunkirk, Prancis, pada Rabu pagi. Perahu mereka kemudian bertubrukan dengan kapal kontainer di batas perairan teritorial Prancis.

Para migran tersebut merupakan korban perdagangan dan penyelundupan manusia. Menurut Wali Kota Calais Natcha Bouchart, para migran membayar antara 2.000 hingga 6.000 poundsterling kepada para pelaku penyelundupan agar membantu mereka menyeberang ke Inggris. "Saya telah memperingatkan selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan bahwa tragedi semacam ini pasti akan terjadi," ujar Bouchart.

Sebanyak empat pelaku yang diduga terlibat dalam insiden migran di Selat Inggris telah ditangkap saat hendak melarikan diri menuju perbatasan Belgia. Semuanya laki-laki dan diharapkan muncul di hadapan hakim lokal pekan ini untuk mengikuti persidangan jalur cepat.

Mereka bakal menghadapi dakwaan pembunuhan dan bantuan imigrasi ilegal dalam geng terorganisir. Insiden di Selat Inggris membuat Paris dan London terlibat perselisihan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengaku terkejut atas peristiwa tenggelamnya perahu migran di Selat Inggris.

Johnson meminta Prancis berbuat lebih banyak untuk mencegah orang atau migran menyeberang secara ilegal ke Prancis. Sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan Inggris perlu berhenti mempolitisasi masalah ini untuk keuntungan domestik. Inggris dinilai perlu ikut bertanggung jawab.

Macron menekankan Prancis tidak akan membiarkan Selat Inggris menjadi "kuburan". Dia menyerukan pertemuan darurat para menteri Eropa guna membahas isu tersebut. Kelompok hak asasi dan pakar pengungsi menilai kebijakan pemerintah yang membatasi suaka, termasuk menerapkan pengawasan lebih ketat, mendorong para migran mengambil lebih banyak risiko.

"Menuntut hanya penyelundup berarti menyembunyikan tanggung jawab otoritas Prancis dan Inggris," kata I'Auberge des Migrants, sebuah kelompok advokasi yang mendukung pengungsi dan orang-orang terlantar.

Sekitar 27 ribu migran telah menyeberangi Selat Inggris tahun ini. Angka itu jauh melampaui jumlah yang tercatat tahun lalu yakni sekitar 8.000 migran dan 1.000 pada 2019. Bulan ini, Lebih dari 4.000 orang telah melakukan perjalanan atau paling banyak dalam kurun satu bulan. Lonjakan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement