REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan lima tantangan bagi pelaku teknologi finansial di tengah era ekonomi digital. Pertama, ruang lingkup risiko yang meluas terutama berkaitan data dan keamanan. Kedua, tuntutan transformasi digital terkadang memaksa penyedia jasa keuangan digital terlalu mengandalkan pihak ketiga terkait penyedia layanan teknologi-informasi.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan kedua hal tersebut turut berperan pada tantangan selanjutnya, yakni potensi kejahatan siber yang akan meningkat. Hal ini merupakan jenis kriminal baru yang akan ada dan terus beriringan kemajuan teknologi.
"Hal ini patut ditandai sebagai tantangan tersendiri, karena ketergantungan terhadap layanan pihak ketiga akan memperbesar kemungkinan kebocoran data dan risiko siber lainnya. Inilah kenapa berbagai serangan seperti malware, phising atau pengelabuan, cyber pharming, dan lain-lain," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (26/11).
Keempat, yaitu terkait pemerataan infrastruktur digital, gap distribusi internet dan adopsi digital di beberapa daerah dan pedesaan di Indonesia sangat jauh dengan kondisi di kota besar. Terakhir, paradigma fintech yang terkadang mengangkat isu-isu di luar lingkup pengawasan prudential atau kesehatan perusahaan/platform dari sisi penyelenggaraan bisnis, terutama soal perlindungan konsumen dan keamanan data konsumen.
Maka itu, OJK berupaya memperbaiki pengawasan dan regulasi buat para pemain jasa keuangan digital lewat supervisor technology. Harapannya, inovasi dari para platform tetap berjalan beriringan secara seimbang dengan penyelenggaraan layanan yang baik dan keamanan pengguna yang tetap terjaga.
"Tingkat penggunaan platform masyarakat juga meningkat. Jika kita lihat, sudah ada lebih dari 20 jenis layanan keuangan digital yang ditawarkan oleh kurang-lebih 355 fintech berdasarkan data AFTECH (Asosiasi Fintech Indonesia) termasuk yang berbasis syariah," ucapnya.