REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Meski telah berbeda keyakinan, Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya tetap dibela Bani Hasyim dan Bani al-Muttalib. Hal itu karena status sosial Nabi Muhammad SAW yang tinggi ditambah setelah menikah dengan Khadijah.
Dikisahkan dalam bukunya Sejarah Muhammad oleh Husen Haekal, pada suatu hari Abu Jahl bertemu dengan Nabi Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan kepada agama ini.
"Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya ia tanpa diajak bicara," katanya.
Hamzah, pamannya dan saudaranya sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu mengelilingi Ka’bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.
Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah. Ia pergi ke Kabah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang hadir di tempat itu seperti biasanya.
"Melainkan terus masuk kedalam mesjid menemui Abu Jahl," katanya.
Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba mau membela Abu Jahl. Tapi tidak jadi.
Kuatir mereka akan timbul bencana dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang mencaci maki Muhammad dengan tidak semenamena.
"Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam, Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di jalan Allah sampai akhir hayatnya," katanya.
Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat mengurangi iman mereka dan menyatakannya terus-terang, tidak dapat menghalangi mereka melakukan kewajiban agama.
"Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan cara seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya," katanya.
Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian esensi ajaran
rohaninya yang begitu tinggi, berada di atas segala pertentangan ambisi politik.