Jumat 26 Nov 2021 17:24 WIB

Putusan Kompromi Jalan Tengah MK di UU Cipta Kerja

Putusan MK di UU Cipta Kerja dinilai menggantung dan memunculkan kebingungan.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin sidang putusan uji Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta,Kamis (25/11). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sebagian gugatan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan sejumlah elemen buruh. Majelis juga memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun ke depan.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin sidang putusan uji Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta,Kamis (25/11). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sebagian gugatan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan sejumlah elemen buruh. Majelis juga memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun ke depan.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Flori Sidebang, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (25/11), telah membacakan putusan hasil uji formil dan materiil Undang-Undang Cipta Kerja dengan nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam amar putusan, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat dan harus dilakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun dari putusan ini diucapkan.

Baca Juga

"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan'," kata Ketua MK Anwar Usman, membacakan putusan.

Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) mengapresiasi MK yang memutuskan Uu Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, YLBHI menyindir putusan MK terkesan menggantung.

Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan putusan MK ini sebagai jawaban atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK. Putusan ini menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, dan hanya mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian.

"Putusan ini adalah putusan kompromi," kata Asfinawati dalam keterangannya kepada Republika, Jumat (26/11).

Sindiran yang dialamatkan Asfinawati terhadap putusan MK atas UU Cipta Kerja bukan tanpa dasar. Putusan MK soal UU Cipta Kerja terkesan menggantung karena memberi kesempatan Pemerintah DPR untuk perbaikan.

"Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD, tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK," ujar Asfinawati.

Oleh karena itu, Asfinawati menganggap putusan MK malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahkan empat dari sembilan hakim menyatakan dissenting opinion dalam arti berpendapat UU Cipta Kerja sesuai dengan Konstitusi.

"Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti," tutur Asfinawati.

Selain itu, Asfinawati mengingatkan hakim MK untuk bersikap tegas dalam menghadapi mereka yang berkepentingan atas UU Cipta Kerja. Menurutnya, UU Cipta Kerja lebih pantas dibatalkan saja secara keseluruhan.

"Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan 'Batal" saja, sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran," ucap Asfinawati.

Di sisi lain, Asfinawati mengungkapkan berbagai kelompok masyarakat se-Indonesia pernah berunjuk rasa menentang UU Cipta Kerja sebelum putusan MK ini keluar. Hanya saja, Pemerintah bergeming pada saat itu.

"Pemerintah dan DPR harus menyadari kesalahan, bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam pembentukan perundang dan tidak mengulangi, karena kekeliruan seperti ini juga dilakukan di UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya  baik secara prosedur maupun isi," kata Asfinawati.

 

 

Senada dengan Asfinawati, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai putusan MK atas UU Cipta Kerja terkesan membingungkan. Ia heran mengapa produk hukum yang lahir dari proses yang inkonstitusional malah dibenarkan.

Bivitri menilai, putusan MK ini yang seperti "jalan tengah" atas UU Cipta Kerja. Analisis ini berdasarkan amar putusan dan adanya empat dari sembilan hakim yang berbeda pendapat.

"Dan jalan tengah ini sesungguhnya menimbulkan kebingungan karena putusan ini mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional," kata Bivitri dalam keterangannya usai dikonfirmasi Republika, Jumat (26/11).

Bivitri memandang sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional. Sehingga, sudah sewajarnya UU Cipta Kerja tidak berlaku karena dibuat melalui proses yang inkonstitusional.

"Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU nya tetap konstitusional dan berlaku," ujar Bivitri.

Selain itu, Bivitri menganggap MK tak bisa menolak lagi permohonan uji formil UU Cipta Kerja karena segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan. Bahkan cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan.

Bivitri menganalisis putusan MK ini juga cenderung mengakomodir kepentingan politik.

"Namun di sisi lainnya, bila melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itulah, jalan keluarnya adalah conditionally unconstitutional atau putusan inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun," ucap Bivitri.

Di sisi lain, Bivitri menganggap putusan ini patut diapresiasi hanya karena MK mengkonfirmasi buruknya proses perumusan UU Cipta Kerja. Ia khawatir hal serupa bisa saja terjadi di kemudian hari bila tak ada putusan ini.

"Bila tidak ada putusan ini, maka praktik buruk ini bisa mendapat legitimasi sehingga mungkin akan terus berulang," tutur Bivitri.

In Picture: Aksi Buruh Tolak UU Ciptaker di Depan Gedung Sate

photo
Sejumlah buruh dari berbagai serikat buruh berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (25/11). Dalam unjuk rasa tersebut, mereka mendesak pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh dan menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan serta menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat tahun 2022. Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement