Ahad 28 Nov 2021 09:27 WIB

IKAMI: MK Seharusnya Tegas Batalkan UU Cipta Kerja

IKAMI menilai putusan MK terkait UU Cipta Kerja membingungkan.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) Abdullah Al-Katiri menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tidak tegas mengeluarkan putusan terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jika dinilai bertentangan dengan UUD 1945, MK seharusnya membatalkan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) itu bukan memerintahkan untuk memperbaikinya.

"Dalam memutuskan suatu perkara yang dimohonkan judicial review, Mahkamah Konstitusi seharusnya tegas, lugas dan tuntas demi terciptanya kepastian hukum  dan  demi untuk menjaga kewibawaan dan marwah Mahkamah Konstitisi itu sendiri," kata Ketua Umum IKAMI Abdullah Al-Katiri saat dihubungi Republika, Ahad (28/11).

Baca Juga

Abdullah Al-Katiri mengatakan, putusan MK ini membuat bingung masyarakat dan serat mengakomodir kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya MK mengeluarkan putusan itu diterima atau ditolak.

"Oleh sebab itu amar putusan yang ambigu yang dibuat MK sehubungan dengan UU Cipta Kerja  membingungkan dan terkesan win win solusion bukan seperti putusan pengadilan pada umumnya, melainkan  seperti putusan politik," katanya.

Abdullah Al-Katiri menilai, ada kekhawatiran akan terjadi banyak masalah. Di antaranya akan banyak peraturan-peraturan pelaksanaan yang telah dikeluarkan akan tidak  berlaku. Karena jika suatu UU dicabut oleh putusan MK, maka konsekuensinya peraturan pelaksanaannya juga otomatis tidak berlaku. "Semua dampak dengan dicabutnya UU Cipta Kerja tidak sebanding jika dibandingkan dengan kekecewaan dan kerugian rakyat yang kena dampak langsung dari diberlakukan UU Cipta Kerja tersebut," katanya.

Abdullah Al-Katiri menyarankan, seharusnya eksekutif dan legislatif bijaksana ketika mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan dan menerima jika UU Cipta kerja Ini dibatalkan. Sudah dari awal UU ini banyak ditolak rakyat. "Para pembuat dan pelaksana UU Cipta Kerja seharusnya legowo dan dapat menerima jika  UU tersebut dicabut permanen karena memang faktanya dari sejak rancangan UU ini sudah ditolak dan tidak dikehendaki oleh rakyat," katanya

Seharusnya kata Abdulah Al-Katiri pemerintah dan DPR memfasilitasi kehendak rakyat yang turun ke jalan menolak UU Cipta Kerja disahkan. Ketika itu memang masa aksi diterima untuk menyampaikan keluhannya, tetapi UU Cipta Kerja tetap disahkan DPR.

"Sehingga terjadilah kebuntuan sehingga mereka demo, mereka turun ke jalan. Ini bukti bahwa undang-undang itu tidak diterima oleh masyarakat," katanya.

Abdullah Al-Katiri menegaskan, masyarakat yang turun ke jalan itu terdampak langsung dengan adanya UU Ciptaker. Mereka menilai UU itu tidak berpihak kepada masyarakat sehingga perlu dibatalkan. "Mereka merasa dirugikan karena banyak ketentuan-ketentuan itu yang mendegredasi hak-hak masyarakat, salah satu contohnya masyarakat buruh," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement