REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Larangan perjalanan yang diberlakukan Inggris dan negara-negara lain mendorong industri pariwisata Afrika Selatan ke ambang kekacauan. Amerika Serikat (AS) dan Australia juga bergabung dalam daftar negara yang melarang penerbangan dari negara-negara selatan Afrika.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pertama kali menerima laporan mengenai varian baru virus corona, yang kini disebut Omicron, pada 24 November lalu. Varian ini tampaknya berpotensi meningkatkan risiko infeksi.
Ilmuwan mengatakan varian ini yang menyebabkan lonjakan kasus infeksi provinsi terbesar di Afrika Selatan, Guateng, baru-baru ini dan kemudian menyebar ke seluruh negeri. Meski situasinya serius tapi banyak pihak yang merasa larangan terbang tidak perlu diberlakukan.
"Saya pikir Covid-19 sesuatu yang serius. Namun di sisi lain, kami akan selalu menemukan varian baru. Maka saya tidak tahu bagaimana kami terus ditutup setiap kali kami menemukan varian baru," kata turis Inggris yang berkunjung ke Afrika Selatan, David Good, seperti dikutip dari Africa News, Ahad (28/11).
Industri pariwisata mewakili sekitar tiga persen Produk Domestik Bruto (PDB) Afrika Selatan. Larangan perjalanan akan menjadi masalah besar terutama saat negara itu sedang dalam pemulihan ekonomi pandemi Covid-19.
"Maka ini sangat penting bagi Cape Town. Terdapat puluhan ribu keluarga yang tergantung pada industri pariwisata dan sepanjang hari saya dibanjiri pesan dari operator pariwisata yang mengatakan 'untuk pertama kalinya tur kami penuh pada Desember'. Pemilik hotel-hotel kecil dan BnB (Bed and Breakfasts) mengatakan semua orang membatalkan pesanan. Ini benar-benar berita yang sangat buruk," kata Walikota Cape Town, laments Geordin Hill-Lewis.
WHO memperingatkan pemerintah di seluruh dunia tidak terburu-buru menerapkan larangan terbang terkait varian baru. Lembaga kesehatan PBB itu mengatakan negara-negara harus mengambil keputusan berdasarkan 'pendekatan berbasis risiko dan ilmiah'.