Senin 29 Nov 2021 14:16 WIB

Ketua Otoritas Kesehatan: Tidak Ada Kasus Omicron di Saudi

Omicron merupakan varian baru dari virus corona.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Ketua Otoritas Kesehatan: Tidak Ada Kasus Omicron di Saudi. Warga Arab Saudi menikmati waktu dengan memakai masker. Kini, Arab Saudi telah mencabut aturan penggunaan masker di tempat umum bagi mereka yang telah divaksinasi lengkap.
Foto: Reuters
Ketua Otoritas Kesehatan: Tidak Ada Kasus Omicron di Saudi. Warga Arab Saudi menikmati waktu dengan memakai masker. Kini, Arab Saudi telah mencabut aturan penggunaan masker di tempat umum bagi mereka yang telah divaksinasi lengkap.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Direktur Otoritas Kesehatan Masyarakat Arab Saudi (Weqaya) Abdullah Al-Quwazani mengatakan tidak ada kasus Omicron yang terdeteksi di Arab Saudi sejauh ini. Omicron merupakan varian baru dari virus corona yang bermutasi dan diduga menyebar pertama kali di Afrika.

"Mutasi genetik terjadi pada virus dan itu mengarah pada munculnya varian baru yang berpotensi lebih menular," kata Al-Quwazani, dilansir di Saudi Gazette, Ahad (28/11).

Baca Juga

Dia mencontohkan WHO telah mengklasifikasikan mutan ke dalam berbagai kategori, termasuk Variants of Interest (VOI) dan Variants of Concern (VOC) karena beberapa negara telah mendeteksi varian baru sebagai VOC.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Muhammad Al-Abdel Ali mengaitkan peningkatan penyebaran virus corona di beberapa negara dengan kelalaian dalam mematuhi tindakan pencegahan. Sedangkan di Kerajaan, kasus Covid-19 sedang melalui fase aman dan menyaksikan penurunan jumlah kasus.

Penurunan jumlah kasus terjadi karena Arab Saudi terus memberikan suntikan vaksinasi kepada lebih dari 47 juta sejak dimulainya upaya vaksinasi pada Desember tahun lalu. Kini Arab Saudi juga berencana mengambil dosis booster atau vaksin penguat dalam upaya meningkatkan kekebalan sekaligus menyangkal tentang efek samping yang parah dari dosis booster.

Berbicara pada konferensi pers, Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Letnan Kolonel Talal Al-Shalhoub menegaskan semua orang yang datang dari negara-negara yang diizinkan masuk langsung diharuskan menghabiskan lima hari di karantina institusional terlepas dari status imunisasi mereka di luar negeri Kerajaan. Dia menambahkan pelancong dari semua negara diharuskan menghabiskan tiga hari di karantina institusional jika mereka menerima satu suntikan vaksin virus corona dari dalam Kerajaan.

Al-Shalhoub memperingatkan orang yang melanggar karantina institusional akan didenda sebesar 200 ribu riyal dan hukuman penjara hingga dua tahun atau keduanya. Kementerian Dalam Negeri mengumumkan total 871 pelanggaran tindakan pencegahan terdeteksi dalam seminggu.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Haji dan Umroh Hisham Saeed mengklarifikasi bahwa karantina institusional selama tiga hari diperlukan untuk jamaah umroh. Jamaah terlebih dahulu harus menjalani tes PCR 48 jam setelah dimulainya karantina institusi.

Syarat pertama untuk mengeluarkan visa umroh dan memasuki Kerajaan adalah menyelesaikan dosis vaksinasi terhadap virus corona. Jamaah umroh asing yang divaksinasi dengan salah satu vaksin yang disetujui di Kerajaan akan diizinkan mengunjungi Dua Masjid Suci dan melakukan ritual umroh dan sholat di Dua Masjid Suci sesuai dengan izin yang telah diberikan kepada mereka melalui aplikasi Eatmarna.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement