REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengapresiasi putusan dari lembaga yang pernah dipimpinnya terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurut dia, setidaknya ada tiga alasan mengapa omnibus law tersebut diputuskan inkonstitusional bersyarat.
Pertama adalah metode omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja. Padahal, mekanisme tersebut tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
"Ini menjadi persoalan dalam pandangan MK karena ada 78 undang-undang dengan jenis yang sangat berbeda-beda, yang banyak sekali aspek yang diatur dimasukkan dalam satu UU," ujar Hamdan dalam sebuah webinar yang dikutip, Senin (29/11).
Jika pemerintah ingin menggunakan metode omnibus law, seharusnya terlebih dahulu merevisi UU PPP. Mengingat ada 78 undang-undang yang dimasukkan dalam satu regulasi sapu jagat tersebut.
"Ini saya kira pesan penting pertama. Jadi, tidak bisa lagi omibus law ini dilakukan secara sangat luas yang kalau kita lihat dalam pertimbangan-pertimbangan itu menimbulkan banyak sekali persoalan," ujar Hamdan.
Alasan kedua adalah perubahan penulisan di beberapa substansi UU Cipta Kerja, pascapersetujuan bersama antara DPR dan presiden. Menurut dia, hal tersebut sangatlah fatal dalam pembentukan perundang-undangan.
Lazim jika MK memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, mengingat pembahasannya mencakup 78 undang-undang dengan waktu yang sangat cepat. Sehingga kesalahan ketik masih terjadi seusai pengesahannya.
"Tidak gampang, tapi pembahasannya dilakukan secara cepat. Sehingga pasti banyak sekali hole dan kesalahannya yang tidak disadari karena ketidaktelitian, karena mau cepat tadi, maka MK menyorot secara khusus itu," ujar Hamdan.
Terakhir, UU Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan, terutama pada asas keterbukaan dan partisipasi publik selama pembahasannya.
"Jadi, karena banyak begitu banyak, pembahasan begitu cepat, dan partisipasi publik yang kurang, yang minim, sehingga dengan tiga alasan secara kumulatif itulah UU CK ini dinyatakan cacat prosedur," ujar ketua MK periode 2013-2015 itu.