REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menilai penyempurnaan terhadap Undang-undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (PPP) sebagaimana diubah dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 perlu segera dilakukan. Menurutnya, saat ini ada sejumlah rancangan undang-undang yang proses pembuatannya menggunakan pendekatan omnibus law.
Selain Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN), Arsul mengungkapkan, UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) juga menggunakan pendekatan omnibus law. Menurutnya, jika UU PPP tidak ditata, maka UU lainnya yang menggunakan pendekatan omnibus law berpotensi kembali dilakukan uji formil.
"Nanti diuji formil lagi, nanti batal lagi, nah ini jadi repot. Karena itu memang sepakat perlu kita dorong juga baleg untuk memprioritaskan penyempurnaan," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (29/11). Menurut dia, UU PPP bukan saja diubah, melainkan menambahkan agar materi yang ada mencangkup pendekatan omnibus law.
Sebelumnya, anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo menyampaikan, DPR akan mengambil langkah proaktif pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Cipta Kerja. Salah satunya, DPR akan melakukan revisi Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Nanti akan normakan frasa omnibus law. Artinya, kalau itu sudah dimasukkan maka ini akan menjadi konstitusional. Persoalannya sudah selesai," kata Firman di Kompleks Parlemen, Senin (29/11).
Firman mengatakan, rencana untuk merevisi UU PPP tersebut akan dimasukan dalam Prolegnas Priorias 2022. Prolegnas tersebut nanti akan diputuskan pada Desember ini sekaligus untuk menentukan program legislasi nasional periode 2022 untuk jangka panjang dan jangka pendek.
"Di dalam mekanisme yang akan kita tempuh akan menggunakan kumulatif terbuka. Kumulatif terbuka itu jelas bahwa bisa dibahas setiap saat tetapi harus masuk program legislasi nasional," ujarnya.