REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi meluncurkan Roadmap Pengembangan Industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) 2021-2025. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat mengatakan pandemi Covid-19 telah mengakselerasi pemanfaatan teknologi informasi dan mengubah pola perilaku masyarakat pada hampir semua aktivitas masyarakat, termasuk dalam kegiatan perekonomian.
“Kondisi tersebut telah mendisrupsi berbagai kegiatan masyarakat, termasuk industri perbankan,” ujarnya saat acara Launching Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025 secara virtual, Selasa (30/11).
Menurutnya disrupsi tersebut menimbulkan berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh industri perbankan, termasuk BPR dan BPRS baik yang bersumber dari kondisi eksternal maupun jangka pendek.
“BPR dan BPRS merupakan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang memiliki keunikan tersebut dalam menjalankan aktivitas usahanya, di antara keunikan tersebut adalah adanya kedekatan BPR dan BPRS dengan nasabahnya, baik kedekatan jarak maupun emosional,” ucapnya.
Teguh menyebut kedekatan jarak tersebut dikarenakan adanya aktivitas BPR dan BPRS yang sehari-hari dilakukan secara tatap muka dengan para nasabah yang berada sekitar jaringan kantor. Sedangkan, kedekatan emosional dalam melayani nasabah antara lain segmen usaha mikro.
Menurut Teguh pada umumnya, BPR dan BPRS berupaya untuk memahami kondisi para nasabahnya secara personal, sehingga dalam memberikan pelayanan tidak selalu memandang dari segi prospek bisnis.
“Keunikan lain yakni jumlahnya yang banyak tersebar di berbagai Indonesia dan disparitas skala usaha yang besar di antara industri BPR dan BPRS,” ucapnya.
Berdasarkan data OJK, pada September 2021 terdapat 1.481 BPR dan 165 BPRS tersebar di seluruh Indonesia, secara rincian terbanyak di Pulau Jawa dan Bali. Sedangkan skala usaha BPR dan BPRS bervariasi berdasarkan permodalan yang dimiliki.
OJK membagi BPR menjadi tiga kelompok kegiatan usaha, yakni BPRKU 1 dengan modal inti kurang dari Rp 15 miliar. Lalu, BPRKU2 dengan modal inti Rp 15 miliar sampai Rp 50 miliar. Terakhir, BPRKU3 dengan modal inti di atas Rp 50 miliar.
“Dalam rangka mendukung industri BPR dan BPRS dalam menghadapi tantangan jangka pendek sebagai dampak dari penyebaran Covid-19. OJK secara responsif telah mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus, antara lain POJK Nomor 34 dilanjutkan dengan POJK Nomor 2,” ucapnya.
Menurutnya berbagai kebijakan stimulus tersebut telah membantu industri BPR dan BPRS dalam mempertahankan kinerjanya agar tetap baik dan stabil. Hal ini tercermin dalam berbagai rasio keuangan seperti rasio permodalan yang masih kuat, rasio kredit bermasalah yang masih terkendali, rasio likuiditas, dan beberapa rasio lainnya yang masih tergolong baik.
“Untuk terus mendorong pengembangan industri BPR dan BPRS ke depan, kami memandang perlu untuk menyusun peta jalan dan arah pengembangan industri BPR dan BPRS yang memiliki karakteristik tersendiri dan tetap sejalan dengan RP2I dan RP2SI yang telah diluncurkan sebelumnya,” ucapnya.
Teguh menjelaskan RP2I bagi industri BPR dan BPRS 2021-2025 dimaksudkan dapat dijadikan pijakan dalam pengembangan ekosistem industri BPR dan BPRS yang diiringi dukungan OJK agar tetap tumbuh dan berkembang.
“RBPRS merupakan suatu dokumen yang dapat terus disesuaikan untuk menghadapi berbagai tantangan dari industri yang ada dan juga tentunya ini bersifat dinamis,” jelasnya.