REPUBLIKA.CO.ID, Pekerja tambang selama ini dihadapkan dengan risiko tinggi kasus kecelakaan kerja. Namun, hal itu tidak berlaku di lingkungan kerja PT Vale Indonesia (PT VI) Tbk.
Wakil Presiden Andriansyah Chaniago menuturkan, jika total recordable injury frequency rate (TRIFR) di PT VI terus menurun mulai 2009 hingga 2021. Hal itu juga diikuti dengan lost work case frequency rate (LWCFR) yang semakin rendah. Capaian itu bisa terwujud karena bentuk kepedulian perusahaan kepada karyawan sebagai aset yang harus dijaga.
"Kami terus menciptakan lingkungan kerja yang tidak membahayakan bagi karyawan dan kontraktor yang sejalan dengan nilai perusahaan, kehidupan adalah hal yang terbaik," kata Andriansyah saat 'Public Expose Live 2021' secara daring di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia pun memaparkan statistik keselamatan di PT VI, di mana tingkat kecelakaan kerja pekerja semakin rendah dari tahun ke tahun. Data menunjukkan pada 2009, jumlah TRIFR sebesar 2,56 untuk satu juta jam kerja bagi kontraktor dan pekerja.
Pada 2010, angkanya turun menjadi 2,39, pada 2013 sebesar 1,50, pada 2016 sebanyak 0,95, pada 2018 di angka 0,56, pada 2020 menurun menjadi 0,51, dan pada kuartal kedua turun lagi di angka 0,48 untuk satu juta jam kerja.
Adapun untuk statistik kinerja keselamatan pada periode 2009 di angka 0,17, pada 2013 sebesar 0,23, pada 2016 sebanyak 0,12, pada 2019 di kisaran 0,16, dan pada kuartal kedua 2021 di angka 0,23. Jika dirata-rata kasus LWCFR, kata Andriansyah, setiap tahunnya di PT VI relatif terkontrol.
"Kami menyadari perlunya terus bekerja menurunkan tingkat cedera di area operasi kami, untuk itu kami berkomitmen untuk terus menciptakan lingkungan kerja yang tidak membahayakan,” kata Andriyansah.
Selain kepedulian terhadap karyawan dan mitra, menurut Andriyansyah, PT VI juga berusaha peduli dengan kelestarian alam. Sehingga ketika melakukan aktivitas pertambangan di lingkungan yang sensitif, sambung dia, alam sekitar tidak sampai tercemar.
Dia pun mencontohkan, Danau Matano, Malili, di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang selama 50 tahun dilakukan penambangan dan pengolahan nikel, tidak pernah tercemar. Bahkan, di sekitar danau malah terlihat hijau karena ditanami tumbuhan yang bisa tumbuh subur.
"Kami telah belajar beroperasi dengan sangat hati-hati, sehingga tidak merusak danau-danau yang sensitif. Salah satu usaha kami dalam menjaga kualitas air dalam menggunakan sistem kolam pengolahan air. Dengan kualitas air yang baik maka memberkan dampak positif bagi lingkungan sekitar kami beroperasi,” ucap Andriansyah.
Dia melanjutkan, PT VI juga telah membuat komitmen untuk mengurangi emisi sebesar 30 persen paling lambat pada 2030, dan menjadi karbon netral pada 2050. Andriansyah mengakui, target yang dibuat terkesan ambisius untuk mengurangi emisi karbon terkait kegiatan penambangan, pengolahan, dan penggunaan nikel.
Langkah itu dilakukan sebagai upaya perseroan untuk mendukung kelestarian lingkungan sesuai dengan Paris Agreement, yang bertujuan untuk mereduksi emisi karbon dioksida efektif di berbagai negara yang efektif mulai berlaku 2020. Selain itu, PT VI pada awal 2020, menerima penghargaan Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuatan.
Capaian itu merupakan pertama kalinya dalam sejarah perseroan yang beroperasi di Indonesia mulai 1968. Menurut Andriansyah, torehan tersebut menandakan jika PT VI berkomitmen untuk menjaga lingkungan sekitar agar tidak rusak. Hal itu juga untuk menepis anggapan selama ini, yaitu kawasan tambang selalu meninggalkan lingkungan yang rusak bagi masyarakat sekitar.
"Kami bangga karena menjadi perusahaan tambang dan pengolahan nikel terintegrasi pertama di Indonesia yang menerima peghargaan ini. Kami juga menerima penghargaan pengelolaan lingkungan pertambangan dan kosnervasi mineral dari Menteri ESDM," kata Andriansyah.
Presiden Direktur PT VI, Febriany Eddy menerangkan, perseroan yang dipimpinnya memiliki 3.006 karyawan, yang sebanyak 99,7 persen di antaranya berkewarganegaraan Indonesia, yang didukung 6.000 kontraktor. Saat ini, kepemilikan saham PT VI sebesar 43,79 persen dikuasai Vale Canada Limited.
Sedangkan sebanyak 20 persen saham dikuasai PT Inalum/MIND ID, Sumitomo Metal Mining Co Ltd memiliki 15,03 persen, dan publik 20,49 persen, serta Vale Japan Limited dan Sumitomo Corporation masing-masing memiliki saham minirotas 0,55 dan 0,14 persen.
"PT Vale Indonesia adalah salah satu dari perusaahaan Vale Group, salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Nikel adalah salah satu bisnis utama Vale setelah besi. PT Vale memproduksi nikel dalam kontrak penjualan jangka panjang kepada Vale Kanada Metal Mining,” kata Febriany.
Dia menjelaskan, PT VI yang memiliki tiga area konsensi pertambangan di Sorowako (Sulawesi Selatan), Pomalaa (Sulawesi Tenggara), dan Bahodopi (Sulawesi Tengah) selalu berusaha menjaga lingkungan sekitar. Karena itu, pabrik pengolahan memiliki tanur pengering, lima tanur pereduksi, empat tanur listrik, dan tiga konverter.
"Produk kami adalah nikel dalam matte diekspor ke Jepang berdasarkan kontrak penjualan jangka panjang dengan harga 78 persen dari rata-rata harga tunai nikel di LME dan 35 persen rata-rata harga kobalt di Fast Market satu bulan sebelum pengiriman. Keunggulan kami adalah kepastian pasar,” kata Febriany.
Direktur Perseroan PT VI, Bernardus Irmanto mengungkapkan, perseroan memiliki keunggulan lantaran dalam memproses penambangan memiliki sistem yang terintegrasi. Hal itu juga didukung keberadaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang memanfatkan aliran sungai sekitar area tambang.
Dengan begitu, proses produksi tambang dan pengolahan nikel bisa berlangsung efisien. "Sistem peleburan kami di Sorowako membutuhkan sistem peleburan listrik yang sangat besar sehingga membutuhkan listrik dengan daya terpasang 365 MW, PLTA menjadikan kami sebagai low cost nickle producer," kata Bernardus.
Hilirisasi
Menteri Badan Usaha MIlik Negara (BUMN), Erick Thohir menyambut baik capaian MIND ID yang kini memiliki 20 persen saham divestasi PT VI. Sebagai holding BUMN industri minerba, MIND ID kini bisa menyambut industri mobil listrik dengan optimistis setelah memiliki saham di perusahaan penghasil nikel kelas dunia tersebut.
"Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia sehingga transaksi saham Vale Indonesia menjadi bagian penting dalam hilirisasi industri pertambangan nasional yang punya peran strategis dalam industri nikel global," kata Erick di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia menyebut, pembelian saham PT VI sesuai dengan mandat BUMN untuk mengelola cadangan mineral strategis Indonesia dan juga hilirisasi industri pertambangan nasional. Terutama nikel domestik bisa berpotensi menghasilkan produk dengan nilai ekonomis hingga empat sampai lima kali lipat lebih tinggi dari produk hulu.
Dengan menjadi pemegang saham terbesar kedua, kata Erick, MIND ID bisa memiliki akses strategis untuk mengamankan pasokan bahan baku untuk industri hilir nikel Indonesia. "Baik untuk hilirisasi industri nikel menjadi stainless steel, maupun menjadi baterai kendaraan listrik," katanya