Rabu 01 Dec 2021 12:01 WIB

Iran Isyaratkan Perjanjian Nuklir Masih Bisa Dinegosiasikan

Iran menuntut jaminan Amerika Serikat (AS) untuk tidak menjatuhkan sanksi baru

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi menyapa media saat dia pergi setelah konferensi pers pertamanya setelah memenangkan pemilihan presiden, di Teheran, Iran, 21 Juni 2021. Raisi mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengikuti negosiasi nuklir dengan kekuatan dunia tetapi tidak untuk waktu yang lama , menambahkan bahwa AS harus mencabut sanksi dan kembali ke kesepakatan JCPOA
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi menyapa media saat dia pergi setelah konferensi pers pertamanya setelah memenangkan pemilihan presiden, di Teheran, Iran, 21 Juni 2021. Raisi mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengikuti negosiasi nuklir dengan kekuatan dunia tetapi tidak untuk waktu yang lama , menambahkan bahwa AS harus mencabut sanksi dan kembali ke kesepakatan JCPOA

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran memberikan nada maksimal setelah hanya satu hari perundingan dimulai kembali, Selasa (30/11). Hasil sementara dari perundingan ulang pengendalian nuklir Iran ini menunjukkan segala sesuatu yang dibahas dalam putaran diplomasi sebelumnya dapat dinegosiasikan ulang.

Media pemerintah Iran melaporkan komentar negosiator nuklir utama Iran, Ali Bagheri Kani, dan kepala nuklir sipil Iran Mohammed Eslami. Mereka menyatakan pertemuan Inggris, China, Prancis, Jerman, dan Rusia akan mengolah segala perbincangan yang sudah dilalui.

Baca Juga

Berbicara kepada televisi pemerintah Iran, Kani menyebut putaran pembicaraan sebelumnya hanya sebagai draf. "Draf bisa dinegosiasikan. Karena itu tidak ada yang disepakati kecuali semuanya telah disepakati," katanya.

"Atas dasar itu, semua diskusi yang terjadi dalam enam putaran dirangkum dan dapat dinegosiasikan. Hal ini juga diakui oleh semua pihak dalam rapat hari ini," imbuhnya.

Dalam segmen TV pemerintah lainnya, Kani mengatakan Iran menuntut jaminan oleh Amerika Serikat (AS) untuk tidak menjatuhkan sanksi baru. Kondisi itu termasuk tidak memberlakukan kembali sanksi yang sebelumnya dicabut.

AS meninggalkan kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) di bawah kampanye tekanan maksimum Presiden Donald Trump yang saat itu melawan Teheran pada 2018. Sejak kesepakatan itu runtuh, Iran sekarang memperkaya sejumlah kecil uranium hingga kemurnian 60 persen dan memutar sentrifugal canggih yang dilarang oleh perjanjian itu.

Eslami yang berbicara kepada kantor berita yang dikelola pemerintah Iran, IRNA, mengulangi permintaan yang disinggung Kani. "Pembicaraan (di Wina) adalah tentang kembalinya AS ke kesepakatan dan mereka harus mencabut semua sanksi dan ini harus dalam praktik dan dapat diverifikasi,” terangnya.

Pembicaraan di Wina dilanjutkan pada 29 November setelah jeda lebih dari lima bulan ketika Presiden garis keras Ebrahim Raisi mengambil alih kekuasaan. Anak didik Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei ini ingin sanksi dicabut.

Komentar Iran terbaru oleh Kani dan Eslami sangat kontras dengan nada optimistis yang ditawarkan oleh diplomat Uni Eropa yang memimpin pembicaraan. "Saya merasa positif bahwa kami dapat melakukan hal-hal penting untuk pekan-pekan berikutnya," kata pejabat UE yang memimpin pembicaraan Enrique Mora pada Senin.

Saingan regional Iran yang bersenjata nuklir, Israel, terus menekan keinginannya di tengah negosiasi. Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dalam sebuah pidato video yang dikirimkan ke negara-negara yang bernegosiasi di Wina memperingatkan Iran berusaha untuk mengakhiri sanksi dengan imbalan hampir tidak ada.

"Iran tidak pantas mendapatkan hadiah, tidak ada kesepakatan tawar-menawar, dan tidak ada keringanan sanksi sebagai imbalan atas kebrutalan mereka,” kata Bennett dalam video yang kemudian diunggah ke Twitter.

"Saya menyerukan kepada sekutu kami di seluruh dunia: Jangan menyerah pada pemerasan nuklir Iran," katanya.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement