Rabu 01 Dec 2021 12:14 WIB

Edukasi Kelompok Rentan, Penting Guna Mencegah Stunting

Pandemi dinilai berpengaruh terhadap peningkatan angka stunting di Indonesia. 

Red: Agus Yulianto
Dialog Produktif dari Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9)-KPCPEN.    terkait dampak pandemi terhadap stunting.
Foto: Istimewa
Dialog Produktif dari Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9)-KPCPEN. terkait dampak pandemi terhadap stunting.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang pandemi, tantangan baru banyak dihadapi. Termasuk dalam penanggulangan stunting (pertumbuhan anak terhambat disebabkan kurang gizi). Salah satu faktor utamanya adalah akses terhadap makanan bergizi, sanitasi, maupun air bersih, yang dialami keluarga berpenghasilan rendah maupun kehilangan pendapatan selama pandemi.

Penurunan stunting tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab satu instansi. Melainkan butuh kerja sama multipihak, terlebih di tengah pandemi.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Suprapto menjelaskan, bahwa secara teoritis pandemi dinilai berpengaruh terhadap peningkatan angka stunting di Indonesia. “Tapi kita perlu melihat hasil survei yang terbaru dulu,” ujar Agus dalam Dialog Produktif dari Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9)-KPCPEN, dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Rabu (1/12).

Untuk menyokong kesejahteraan masyarakat dan memastikan ketersediaan pangan bagi kelompok rentan secara penghasilan, Agus menjelaskan, jika di masa pandemi pemerintah telah  menyalurkan  bantuan sosial termasuk sembako bagi masyarakat yang    membutuhkan. Sementara target pemerintah untuk menurunkan angka stunting, dikatakan Agus, tidak berubah yakni terjadi penurunan hingga 14 persen pada 2024.

Maka itu, edukasi stunting diharapkan tidak hanya berfokus pada bayi atau anak. Melainkan juga pada kelompok risiko, yaitu remaja anemia, calon pengantin, pasangan usia subur, ibu hamil, anak yang baru lahir. 

Hal ini dikarenakan status gizi calon pengantin juga ibu hamil akan mempengaruhi bayi yang akan dilahirkan, agar lebih sehat. “Untuk mencapai target 14 persen, orientasi edukasi kita harus ke hulu lagi,” tegasnya.

Agus juga menekankan, bahwa edukasi di bidang gizi sangat dipengaruhi kebudayaan setempat. “Karena itu, edukasi sebaiknya dilakukan oleh warga setempat,” tuturnya. 

Sementara pendampingan dan pendekatan dengan ibu hamil dianjurkan dilakukan orang per orang. Ini karena setiap individu memiliki keunikan dan permasalahannya masing-masing. 

Terkait dampak pandemi terhadap stunting, Plt Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, Kartini Rustandi menyoroti, kekhawatiran masyarakat untuk mengunjungi Puskesmas semasa pandemi. Meski dalam situasi pandemi, Kartini mengatakan, beberapa upaya tetap dapat dilaksanakan guna memastikan anak bertumbuh dengan sehat. 

Di antaranya, mempersiapkan dan memantau pertumbuhan serta perkembangan anak dengan baik, melalui Posyandu dengan disertai prokes. “Di daerah-daerah tertentu para kader dan tenaga kesehatan juga datang dari rumah ke rumah,” imbuh Kartini.

Selain itu, dengan memanfaatkan teknologi, bisa dilakukan telekonseling, agar nakes tetap aman namun kesehatan anak-anak juga terpantau. Kemudian, ibu hamil juga dapat datang ke Puskesmas dengan perjanjian dan mengedepankan prokes.

Kepada ibu hamil, Kartini memberikan, beberapa saran agar bayi terlahir sehat. Di antaranya, pemeriksaan kesehatan secara berkala, menjaga kesehatan, asupan makanan yang baik, juga menjaga lingkungan agar tetap sehat, termasuk bebas dari asap rokok.

Dia menjelaskan, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting, bukan hanya pada asupan makanan, melainkan juga pola asuh, pola makan, budaya setempat. Sebagai contoh, pemahaman  lokal yang salah seperti makan ikan bisa mengganggu kesehatan. "Hoaks yang demikian dapat berdampak pada asupan gizi anak atau ibu hamil," ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, M. Adib Khumaidi juga menegaskan, pentingnya edukasi sebagai bagian dari upaya preventif promotif dalam hal kesehatan, termasuk mencegah stunting. “Problematika utama mengatasi kesehatan adalah dengan upaya preventif promotif, bukan upaya  kuratif,” ujarnya.

Seharusnya, kata dia, semua pihak dapat menemukan kasus anak yang kurang gizi, bukan mendapatkan anak kurang gizi yang mendatangi fasyankes. Untuk itu, ia mengharapkan, revitalisasi peran Puskesmas dalam upaya tersebut. 

“Puskesmas adalah manajer wilayah, perwakilan Kemenkes di satu wilayah. Itu peran yang harus dikedepankan,” ujar Adib.

Terkait pentingnya edukasi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Gorontalo, Cokro R Katilie memaparkan, bahwa pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak, telah menggencarkan edukasi. Di antaranya dengan Kementerian Agama, berupa edukasi melalui pendampingan calon pengantin baru melalui Kantor Urusan Agama.

Dia menegaskan, upaya menanggulangi stunting memerlukan koordinasi tanpa sekat dengan berbagai pihak, karena stunting bukan hanya permasalahan kesehatan, melainkan juga infrastruktur, sanitasi, kebudayaan, ketahanan pangan, dan berbagai sektor lainnya. 

Berkat kerja sama tersebut, termasuk tim pendamping keluarga dari BKKBN, ia menjelaskan, angka stunting di wilayahnya turun menjadi sekitar 9 persen dari sebelumnya pernah berada pada angka 37 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement