REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rahayu Subekti
Pemerintah sudah mengimbau masyarakat untuk membatasi mobilitasnya di masa libur Natal dan tahun baru. Imbauan tersebut namun diperkirakan akan tetap membuat sejumlah anggota masyarakat mudik di momen akhir tahun.
Dalam survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan terkait mobilitas masyarakat dan arus mudik di masa liburan Natal dan tahun baru ditemukan setidaknya 16 juta masyarakat akan melakukan mudik jika pemerintah hanya memberlakukan pengetatan aktivitas masyarakat. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, ada tiga klasifikasi dalam survei tersebut.
Pertama adalah jika pemerintah melakukan pengetatan aktivitas masyarakat, sebanyak 10 persen atau 16 juta masyarakat akan melakukan mudik. Klasifikasi kedua, saat pemerintah memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 atau 4, maka 9 persen atau 15 juta masyarakat akan pulang ke kampung halaman.
"Tapi kalau kita melakukan pelarangan mobilitas, maka turun lagi menjadi 10 juta atau 7 persen," ujar Budi dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR, Rabu (1/12). "Kalau secara nasional ada 19,9 juta dan Jabodetabek ada 4,4 juta yang ingin mudik," sambungnya.
Dari klasifikasi pertama, sebanyak 4 juta masyarakat Jabodetabek akan melakukan mudik saat masa libur Natal dan tahun baru. Sedangkan klasifikasi kedua, sebanyak 3,5 warganya tetap akan melakukan perjalanan. "Apabila kita lakukan pelarangan, maka yang pulang masih ada 8 persen sebanyak 2,6 juta," ujar Budi.
Pemerintah, kata Budi, akan berusaha terus menekan angka potensi mobilitas masyarakat saat momen libur tersebut. Pasalnya, jumlah tersebut masih sangat besar dan berpotensi melonjaknya kasus Covid-19.
"Untuk itu kita tidak boleh lengah dengan apa yang sudah ada dan kita harus mempertahankan kondisi yang cukup baik ini dengan pengetatan," ujar Budi.
Sebelumnya Kementerian Perhubungan juga melakukan survei pada Oktober 2021. Budi menuturkan dari survei tersebut, dominasi masyarakat Jawa dan Bali menunjukkan masih ada pergerakan setara 12,8 persen.
Budi menilai, semua angka tersebut menunjukkan kesadaran masyarakat untuk melakukan perjalanan saat masa libur Natal dan tahun baru. Budi menegaskan, jumlah tersebut signifikan dan berpotensi mengakibatkan suatu lonjakan Covid-19 di daerah lain atau Jakarta.
Salah satu upaya Kementerian Perhubungan mengurangi mobilitas di masa libur akhir tahun adalah dengan
menerapkan ganjil genap. Budi Karya mengatakan ketentuan ganjil genap tersebut sudah masuk dalam konsep pengendalian mobilitas selama Natal-tahun baru.
“Strategi penanganan lalu lintas transportasi perseorangan akan dilakukan sistem ganjil genap di wilayah aglomerasi jalan tol ibu kota, provinsi, area wisata, dan wilayah peningkatan mobilitas,” kata Budi. Dari pengalaman sebelumnya, penerapan ganjil genap mampu menekan mobilitas masyarakat. Saat ganjil genap diterapkan mampu menurunkan pergerakan masyarakat hingga 30 persen.
Dia menjelaskan, rencananya sistem ganjil genap akan diberlakukan di sejumlah titik saat masa libur Natal dan tahun baru. “Sistem ganjil genap direncanakan diterapkan di ruas Tol Tangerang-Merak, Tol Bogor-Ciawi- Cigombong, Tol Cikampek-Palimanan-Kanci, Tol Cikampek-Padalarang-Cileunyi dari 20 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022,” ungkap Budi.
Selain ganjil genap, Budi memastikan pengaturan kendaraan di jalan tol rencananya akan dilakukan dengan buka tutup tempat perisitirahatan dan contra flow. Selain itu juga akan dilaksanakan random sampling tes Covid-19 di tempat perisitirahatan.
Sementara di jalan non-tol, Budi memastikan sistem ganjil genap juga akan dilakukan, “Sekama ganjil genap juga dilakukan di kawasan wisata. Jalur satu arah dan contra flow juga akan dilakukan,” tutur Budi.
Budi menambahkan, pengecekan secara acak juga akan dilakukan dengan menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Khususnya dalam pengecekan vaksin dan antigen.
Dia mengatakan, ganjil genap juga rencananya akan dilakukan di kawasan serta pembatasan kapasitas. Selain itu penggunaan PeduliLindungi juga akan diterapkan di tempat wisata.
“Penutupan sementara juga dilakukan di tempat wisata tanpa pengelola. Jadi yang diizinkan beroperasi hanya wisata yang berpengelola. Sehingga kita bisa mengatur jumlah dan protokol kesehatan yang berlaku di sana,” ungkap Budi.