REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD - Sebuah organisasi payung dari semua partai politik Syiah di Irak kecuali Gerakan Sadrist Muqtada al-Sadr mengumumkan pada Selasa menolak hasil akhir pemilihan umum Oktober di Irak.
"Berdasarkan bukti, kami menggarisbawahi pemilu telah dimanipulasi dan kami menolak hasilnya. Kami meminta Pengadilan Federal untuk membatalkan hasil pemilu dan berharap pengadilan bebas dari pengaruh politik, tidak memihak dan objektif," kata Komite Koordinasi Perlawanan Irak mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Menurut hasil awal yang diumumkan pada 11 Oktober, Aliansi Sairoon yang dipimpin oleh al-Sadr menempati urutan pertama dalam pemilihan parlemen Irak. Aliansi itu meraih 73 dari 329 kursi parlemen.
Sementara itu, kursi faksi-faksi pro-Iran turun dari 47 dalam pemilihan 2018 menjadi sekitar 20. Faksi-faksi Syiah keberatan dengan hasil tersebut dan menuntut penghitungan ulang manual di seluruh negeri.
Menindaklanjuti desakan oposisi, pihak berwenang Irak memulai penghitungan ulang manual terbatas pada 27 Oktober dari beberapa surat suara.
Komisi pemilihan umum Irak membuka kembali lebih dari 2.000 kotak suara yang mendapat pengaduan dari partai politik di provinsi Nineveh, Babel, dan Baghdad di Zona Hijau dengan keamanan tinggi di ibu kota.
Hasil akhir membutuhkan persetujuan Pengadilan Federal
Hasil akhir penghitungan ulang yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Tinggi Irak pada hari Selasa mengkonfirmasi blok Sadrist yang dipimpin al-Sadr sebagai pemenang terbesar. Hasil akhir akan dikirim ke Pengadilan Federal negara (Mahkamah Konstitusi) untuk disetujui.
Dalam waktu 10 hari setelah hasil akhir pemilu, parlemen baru harus menggelar sidang dan memilih seorang presiden dan dua wakil presiden.
Dalam waktu satu bulan setelah pertemuan, parlemen akan memilih presiden, yang akan menunjuk calon perdana menteri untuk membentuk pemerintahan. Setelah pemilihan, perdana menteri akan membentuk kabinet dalam waktu 30 hari dan menyerahkannya ke parlemen untuk disetujui.
*Ditulis oleh Zehra Nur Duz di Ankara