REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan Covid-19 telah memunculkan berbagai varian. Pekan lalu, varian terbaru, omicron, muncul.
Varian yang pertama kali diindentifkasi di Afrika Selatan itu memiliki tingkat penularan yang tinggi. Meski demikian, gejala yang ditimbulkan akibat omicron lebih ringan hingga jarang membuat orang yang terinfeksi mengalami sakit kritis.
Mungkinkah itu kabar baik untuk dunia? Beberapa ahli penyakit menular mengatakan, untuk saat ini, belum cukup banyak informasi yang diketahui tentang omicron, yaitu apakah ini yang akan mengakhiri pandemi, sehingga mereka meminta semua orang untuk tetap berhati-hati.
Sejak awal pandemi Covid-19 melanda dunia, ahli epidemiologi telah memikirkan kemungkinan SARS-CoV-2 pada akhirnya dapat bermutasi menjadi varian yang lebih jinak, terus menyebar, dan mengakibatkan lebih sedikit orang meninggal. Mereka memperkirakan itu adalah jalan keluar dari pandemi.
Itulah yang terjadi pada virus influenza H1N1. Insiden tersebut mungkin menjelaskan asal mula selesma, penyakit infeksi virus corona yang oleh beberapa ahli virologi dikaitkan dengan pandemi Flu Rusia yang mematikan pada akhir abad ke-19.
Indikasi awal dari Afrika Selatan, omicron tampaknya telah menggantikan delta sebagai strain dominan. Ini menjadi salah satu hal yang ditunggu para ahli, karena mereka melihat tanda-tanda bahwa varian ini kurang ganas.
"Kami belum tahu, tetapi ada beberapa petunjuk bahwa omicron mungkin kurang ganas. Meskipun saat ini agak menegangkan, itu mungkin menguntungkan," ujar ahli epidemiologi University of Melbourne di Australia, Tony Blakely, dilansir Sydney Morning Herald, Rabu (1/12).
Masyarakat global tentu mengkhawatirkan omicron. Dulu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengklasifikasikan delta sebagai varian yang mengkhawatirkan, namun status omicron diangkat ke level yang sama hanya dua hari setelah kasus pertama dikonfirmasi.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook