Rabu 01 Dec 2021 23:29 WIB

Dampak Fatal dari Maksiat adalah Hilangnya Rasa Malu

Maksiat membuat hilangnya rasa malu yang menjadi inti kehidupan

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Maksiat membuat hilangnya rasa malu yang menjadi inti kehidupan. Ilustrasi rasa malu
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Maksiat membuat hilangnya rasa malu yang menjadi inti kehidupan. Ilustrasi rasa malu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Malu  merupakan sumber kehidupan hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu berarti hilangnya seluruh kebaikan. 

Hilangnya rasa malu itu bisa antara lain diakibatkan maksiat. Dikutip dari buku Ad-Daa wad Dawaa karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Dalam kitab ash-Shahih (muslim) Nabi Muhammad ﷺ bersabda: 

Baca Juga

الحياء خير كله "Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya."

إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى: إذا لم تستح، فاصنع ما شئت 

"Termasuk yang pertama diketahui oleh manusia dari ucapan kenabian adalah jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR Bukhari). Hadits ini mengandung dua penafsiran  yaitu sebagai berikut: 

Pertama, hadits di atas berfungsi untuk menakut-nakuti dan sebagai ancaman. Maknanya, orang yang tidak memiliki rasa malu akan melakukan berbagai perbuatan buruk semaunya. Sebab, faktor pendorong untuk meninggalkan perbuatan buruk adalah rasa malu. Jika tidak ada rasa malu yang mencegah orang tadi dari perbuatan buruk, maka ia akan melakukannya. Ini adalah penafsiran Abu Ubaid. 

Kedua, jika engkau tidak malu terhadap Allah ﷻ berbuat sesuatu, maka lakukanlah. Sebab, yang seharusnya ditinggalkan ialah perbuatan yang pelakunya malu kepada-Nya untuk melakukannya. Inilah penafsiran Imam Ahmad dalam salah satu riwayat Ibnu Hani. 

Tafsiran pertama, untuk menakut-nakuti dan sebagai ancaman, sesuai dengan firman Allah ﷻ : 

 اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ "... lakukanlah apa yang kamu kehendaki ...." (QS Fushshilat ayat 40) sedangkan tafsiran kedua adalah izin dan pembolehan.  

Apabila ada yang bertanya: "Apakah hadits di atas bisa diartikan dengan dua penafsiran sekaligus?" 

Syekh menjawab, "Tidak, sekalipun terdapat pendapat orang yang membawa kata musytarak (kata yang memiliki lebih dari satu makna) kepada seluruh makna-maknanya.

Sebab, terdapat kontroversi antara ancaman dan pembolehan. Namun, menjadikan salah satu tafsiran di atas sebagai patokan juga akan mengakibatkan tafsiran yang lain menjadi patokan.  

Maksudnya, dosa-dosa melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa jadi menghilangkannya secara keseluruhan.

Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk.

Lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya rasa malu. 

Jika seseorang sudah sampai pada kondisi tersebut, maka tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya. Jika Iblis melihat rona wajahnya ia malu, dan berkata: "Aku menebus orang yang tidak beruntung."  

Al-Haya (malu) adalah turunan lafazh dari al-hayat (kehidupan). Hujan dinamakan haya karena ia merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman, dan hewan ternak. 

Kehidupan dunia dan akhirat juga dinamakan al-haya. Oleh sebab itu, siapa yang tidak memiliki rasa malu ibarat mayat di dunia ini dan sungguh, dia akan celaka di akhirat.  

Antara dosa dengan sedikitnya rasa malu dan tidak adanya cemburu memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satunya akan memunculkan yang lain. 

Siapa yang malu terhadap Allahﷻ saat mendurhakai-Nya, niscaya Allah ﷻ malu menghukumnya pada hari pertemuan dengan-Nya. 

Demikian pula, siapa yang tidak malu mendurhakai-Nya, niscaya Dia tidak akan malu untuk menghukumnya."  

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement