Kamis 02 Dec 2021 09:31 WIB

OECD: Inflasi Risiko Utama Terhadap Prospek Ekonomi Global

Hal terbaik yang perlu dilakukan bank sentral ialah menanti ketegangan pasokan mereda

 Seorang wanita mengenakan masker wajah untuk melindungi diri dari COVID-19 berjalan di depan gedung perkantoran di Kawasan Pusat Bisnis yang diselimuti kabut polusi di Beijing, Kamis, 18 November 2021.
Foto: AP/Andy Wong
Seorang wanita mengenakan masker wajah untuk melindungi diri dari COVID-19 berjalan di depan gedung perkantoran di Kawasan Pusat Bisnis yang diselimuti kabut polusi di Beijing, Kamis, 18 November 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) menyebutkan risiko utama terhadap prospek ekonomi global yang optimis adalah bahwa lonjakan inflasi saat ini terbukti lebih lama. Inflasi juga akan naik lebih jauh dari yang diperkirakan saat ini.

Dalam prospek terbarunya, OECD menyebutkan pertumbuhan global akan mencapai 5,6 persen tahun ini sebelum berkurang menjadi 4,5 persen pada 2022 dan 3,2 persen pada 2023. Prediksi tersebut sedikit berubah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,7 persen untuk tahun 2021, sedangkan perkiraan untuk tahun 2022 tidak berubah. 

Baca Juga

Dengan ekonomi global yang rebound dengan kuat, perusahaan-perusahaan berjuang untuk memenuhi permintaan pelanggan pascapandemi. Ini menyebabkan inflasi melonjak di seluruh dunia karena kemacetan telah muncul dalam rantai pasokan global.

Seperti kebanyakan pembuat kebijakan, OECD mengatakan bahwa lonjakan itu diperkirakan bersifat sementara dan memudar karena permintaan dan produksi kembali normal. "Namun demikian, risiko utama adalah bahwa inflasi terus mengejutkan naik, memaksa bank-bank sentral utama untuk mengetatkan kebijakan moneter lebih awal dan lebih besar dari yang diproyeksikan," kata OECD.

Asalkan risiko itu tidak terwujud, inflasi di OECD secara keseluruhan kemungkinan mendekati puncaknya hampir 5,0 persen dan secara bertahap akan mundur ke sekitar 3,0 persen pada tahun 2023, kata organisasi yang berbasis di Paris itu. Dengan latar belakang itu, hal terbaik yang dapat dilakukan bank-bank sentral untuk saat ini adalah menunggu ketegangan pasokan mereda dan memberi sinyal bahwa mereka akan bertindak jika perlu, kata OECD.

Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan pada Selasa (30/11) bahwa bank sentral AS akan mempertimbangkan untuk mengurangi pembelian obligasi skala besar lebih cepat di tengah ekonomi yang kuat. The Fed juga berekspektasi bahwa lonjakan inflasi akan bertahan hingga pertengahan tahun depan.

Di Amerika Serikat, OECD memperkirakan ekonomi terbesar dunia itu akan tumbuh 5,6 persen tahun ini, 3,7 persen pada 2022, dan 2,4 persen pada 2023. Proyeksi ini turun dari sebelumnya sebesar 6,0 persen pada 2021 dan 3,9 persen pada 2022.

Prospek untuk China juga kurang optimistis, dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 8,1 persen pada tahun 2021 serta 5,1 persen pada tahun 2022 dan 2023. Sedangkan sebelumnya OECD memperkirakan 8,5 persen pada tahun 2021 dan 5,8 persen pada tahun 2022.

Namun, prospek zona euro sedikit lebih optimis dari yang diperkirakan sebelumnya dengan pertumbuhan yang diperkirakan sebesar 5,2 persen pada tahun 2021, 4,3 persen pada tahun 2022 dan 2,5 persen pada tahun 2023. Dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya, sebesar 5,3 persen pada tahun 2021 dan 4,6 persen pada tahun 2022.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement