REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum selesai pemerintah menyusun aturan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) terutama pada level Peraturan Menteri/Lembaga serta integrasi sistem perijinan berusaha secara elektronik (One Single Submission), keluarlah putusan Mahkamah Konsititusi (MK) Nomor No. 91/PUU-XVIII/2020. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Airlangga Syaiful Aris hingga Head of Legal Department PT Toyota Astra Motor Johanes April Chandra angkat bicara menanggapi putusan MK terkait UU Cipta Kerja.
"Ini refeleksi bagi pemerintah, right to be heard, right to be consider, right to be explained merupakan jiwa dari partisipasi dan keterbukaan publik," ujar Aris yang juga mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya saat mengisi webinar yang diadakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga wilayah Jabodetabek bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga bertema "Buntut Putusan MK: Revisi UU Cipta Kerja, Dimulai Dari Mana?”, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (6/12).
Di kesempatan yang sama, Johanes mengaku, dunia usaha membutuhkan kepastian. Pihaknya saat ini sibuk menyiapkan berbagai skenario untuk menghadapi dampak putusan MK, sampai-sampai tidak fokus pada upaya pengembangan bisnis. Bagi pihaknya, yang penting jelas boleh atau tidaknya.
"Jadi, bukan digantung seperti sekarang ini," kata Johanes mewakili suara pengusaha.
Webinar kali ini mengingatkan kembali kepada para pembuat peraturan dan kebijakan akan pentingnya persyaratan formil selain hal-hal yang bersifat materil terutama dalam kaitannya dengan keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan dan kebijakan.
Oleh karenanya para narasumber dan peserta webinar mengusulkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para regulator dan pengambil kebijakan yang diantaranya adalah penyempurnaan regulasi penyusunan peraturan perundang-undangan untuk mengakomodir keberadaan omnibus law, melakukan legal audit untuk memperbaiki substansi UU Cipta Kerja, dan menerapkan dan mengembangkan keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan dan kebijakan (meaningful participation). Dengan langkah ini, diharapkan peraturan dan kebijakan yang ditetapkan, khususnya perbaikan UU Ciota Kerja akan lebih berkualitas dan terhindar kembali dari permohonan uji di MK.
Seperti diketahui, putusan MK tersebut dikeluarkan atas permohonan uji formil yang diajukan oleh para pemohon yang terdiri dari perwakilan karyawan swasta, mahasiswa, dosen, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga adat. Para pemohonan berpandangan bahwa metode omnibus law tidak diakui dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta perubahannya (UU Nomor 12 Tahun 2011).
Para Pemohon juga menemukan adanya perubahan terhadap materi muatan UU Cipta Kerja, baik yang bersifat teknis maupun substansial, setelah disetujui oleh DPR Dengan demikian, para pemohon berpendapat bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 22A UUD 1945.
Atas permohonan tersebut majelis hakim MK menyatakan bahwa 1) pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; 2) Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini; 3) Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen; 4) Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku Kembali; 5) Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Pemerintah dan semua pihak tentu wajib mematuhi putusan MK tersebut. Pemerintah tentu perlu melakukan upaya keras memperbaiki UU Cipta Kerja dalam kurun waktu yang diberikan. Kerja keras pemerintah ini dibutuhkan segera, agar terjadi kepastian hukum, terutama bagi investasi dan dunia usaha yang saat ini dalam kondisi gamang.