REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, Indra Wibowo mengungkapkan belum adanya sistem peringatan dini di titik-titik yang paling parah dampak erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12). Padahal, sistem peringatan dini merupakan perangkat paling dibutuhkan di area rawan bencana alam, sebagai upaya mencegah timbulnya korban jiwa.
"Sistem peringatan dini belum punya," ujarnya saat dikonfirmasi Republika, Senin (6/12).
Indra menjelaskan, sebagai peringatan dini bagi masyarakat, sejauh ini masih mengandalkan grup media sosial di jajaran relawan dan posko-posko untuk menyebarkan informasi terkait ancaman bencana alam. Informasi yang disebarkan berasal dari pos pantau atau pos pengamatan Gunung Semeru yang ada di Gunung Sawur.
"Masih mengandalkan grup yang ada di jajaran relawan, dan posko-posko yang ada, serta HT yang ada. Setelah ada info dari pemantau pengamat Gunung Semeru dari Gunung Sawur," ujarnya.
Sepanjang Senin (6/12), tepatnya hingga pukul 15.49 WIB, tim SAR gabungan menemukan enam jenazah yang menjadi korban erupsi Gunung Semeru. Kepala Seksi Operasi dan Siaga Basarnas Surabaya, I Wayan Suyatna mengungkapkan, hingga kini sudah ada 20 korban jiwa akibat erupsi Gunung Semeru yang diketemukan. Sebanyak lima orang di antaranya meninggal di rumah sakit.
Ia pun mengungkapkan kendala dalam proses evakuasi jenazah yang baru diketemukan. Yakni karena korban tertimbun material pasir bekas lahar dingin setinggi satu meter.
"Kondisi pasir masih agak panas, semakin dalam semakin terasa panas. Proses evakuasi dilakukan dengan sangat hati-hati," ujarnya.