REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perwakilan tetap Arab Saudi untuk PBB menegaskan, masalah Palestina akan tetap menjadi fokus utama kebijakan luar negeri Kerajaan hingga Palestina mendapatkan kembali hak-hak mereka dan berhasil mendirikan negara mereka sendiri dengan Al-Quds Al-Sharif sebagai ibu kotnya.
Hal itu disampaikan Abdallah Al-Mouallimi kepada Majelis Umum PBB selama pertemuan pleno untuk membahas masalah Palestina dan situasi yang lebih luas di Timur Tengah di New York, Amerika Serikat (AS), pada Rabu (1/12) malam waktu setempat.
Pada pertemuan itu, Al-Mouallimi menegaskan kembali penolakan dan kecaman dari Riyadh atas penyitaan rumah dan tanah warga Palestina yang terus berlanjut oleh Israel. Di samping itu, utusan Saudi itu juga menyampaikan kecaman atas pelanggaran Israel terhadap kesucian Temple Mount (Bait Suci Allah) dan upaya untuk melenyapkan identitas Arab dan Islamnya.
"Langkah-langkah agresif Israel ini akan merusak peluang perdamaian. Kebijakan pembangunan pemukiman dan ekspansi kolonial yang dilakukan oleh otoritas penjajah Israel di tanah Palestina dapat menghancurkan kemungkinan hidup berdampingan secara damai," kata Al-Mouallimi, dilansir di Arab News, Jumat (3/12).
"Langkah sepihak Israel akan menyebabkan gangguan keamanan dan stabilitas, khususnya di Palestina dan juga di Timur Tengah yang lebih luas," tambahnya.
Sidang pleno berlangsung beberapa hari setelah peringatan 74 tahun resolusi 181, yang disahkan oleh Majelis Umum pada 29 November 1947. Sidang tersebut menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi, dengan kota Yerusalem sebagai entitas terpisah untuk dikelola oleh rezim internasional.
Al-Mouallimi mengatakan, lebih dari 75 tahun telah berlalu sejak berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1945 dan selama lebih dari 70 tahun masalah Palestina telah menjadi agendanya.
Namun, posisi historis dukungan Arab Saudi untuk hak-hak yang tidak dapat dicabut dan sah dari rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, tetap tidak berubah. Hak-hak itu termasuk hak mereka untuk mendirikan negara merdeka mereka, dengan Al-Quds Al-Sharif sebagai ibukotanya, yang sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan dan Inisiatif Perdamaian Arab.
Al-Mouallimi juga menekankan kembali perlunya komunitas internasional memenuhi tanggung jawabnya dan menyerukan Israel untuk mengakhiri pendudukannya atas tanah Arab di Palestina, Golan dan Libanon.
"Sangat disayangkan, otoritas pendudukan Israel terus melanggar hak-hak rakyat Palestina, dan mempraktikkan bentuk-bentuk kejahatan yang paling keji, (termasuk penggunaan) kekuatan berlebihan terhadap orang-orang yang tidak berdaya," kata Al-Mouallimi.
Dia menggambarkan perluasan pemukiman Israel sebagai pelanggaran yang jelas dan pengabaian terhadap komunitas internasional. Al-Mouallimi lantas meminta komunitas global itu untuk melindungi rakyat Palestina.
Dia juga menyampaikan terima kasih kepada Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat atas pekerjaannya, yang dikatakannya dilakukan terlepas dari bahaya dan kondisi sulit di Wilayah Pendudukan Palestina sebagai akibat dari tindakan yang menyesakkan oleh otoritas pendudukan.
Al-Mouallimi kemudian mendesak negara-negara anggota PBB untuk bekerja sama dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi badan tersebut untuk melaksanakan pekerjaan kemanusiaannya di wilayah pendudukan.
Utusan Saudi tersebut juga berterima kasih kepada Duta Besar Cheikh Niang, ketua Senegal dari Komite Pelaksanaan Hak-hak Rakyat Palestina yang Tidak Dapat Dicabut, atas laporan terbarunya tentang Palestina.
Dia meyakinkannya tentang dukungan Kerajaan untuk laporan tersebut dan meminta negara-negara anggota untuk mendukung dan mengadopsi resolusi yang dirancang oleh Dakar, yang berjudul "Penyelesaian Damai Masalah Palestina."