Kulonprogo Dorong Sektor Wisata Bangkit
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Akses jalan raya kawasan wisata Air Terjun Kedung Pedhut, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta, Kamis (2/12). Air Terjun Kedung Pedhut menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Kawasan Perbukitan Menoreh, Kulon Progo. Konsep wisata alam dan masih belum terlalu ramai menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID,KULONPROGO -- Pandemi Covid-19 turut memengaruhi tingkat kemiskinan di Yogyakarta yang semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan ekonomi DIY yang rendah dan adanya kontraksi yang menurun secara tajam dari sektor wisata.
Kepala Bappeda Kulonprogo, Triyono mengatakan, pertumbuhan ekonomi DIY selama pandemi turun drastis -2,69 persen. Kulonprogo, misal, pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar -4,06 persen lebih rendah dibanding realisasi 2019 sebesar 13,49 persen.
"Perkembangan ini sejalan perekonomian nasional yang terkontraksi 2,07 persen 2020 dan pertumbuhan ekonomi DIY -2,69 persen," kata Triyono dalam diskusi yang digelar Persatuan Insinyur Indonesia (PII) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Triyono menyampaikan, pandemi Covid-19 berdampak luar biasa yang memengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat Kulonprogo sampai tergolong status jatuh miskin. Kelemahan perekonomian ini yang kemudian terus dicoba untuk mencari peluang.
Seperti pengembangan dan pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Salah satunya melalui sektor pariwisata yang memang merupakan kekuatan kuat dari DIY, termasuk Kulonprogo.
"Namun, kendala dalam pengembangan ekonomi baru di Kulonprogo selain terhalang oleh dampak pandemi juga terkait kebijakan tata ruang," ujar Triyono.
Mobilitas warga yang belum bisa kembali seperti dulu juga membuat tempat-tempat wisata belum bisa optimalkan sumber daya yang ada. Salah satunya wisata alam Kedung Pedut di Padukuhan Kembang, Kalurahan Jatimulyo, Kapanewon Giriloyo.
Dukuh Kembang, Sarija mengatakan, selama pandemi hampir dua tahun wisata alam ini harus ditutup demi mencegah penyebaran Covid-19. Sehingga, banyak sarana dan prasarana yang rusak karena kunjungan tidak cuma berkurang, tapi kosong.
Dampaknya tidak cuma dirasakan pengelola, tapi warga yang selama ini sebenarnya mendapat pemasukan sebagai pelaku usaha di sekitar Kedung Pedut. Akibatnya, ada lebih dari 25 orang pelaku usaha yang tidak mendapat pemasukan selama pandemi.
Belum lagi, lanjut Sarija, elemen-elemen warga di Padukuhan Kembang sudah pula mengembangkan oleh-oleh khas yang tentu saja tidak bisa dijual selama pandemi. Misal, kopi, empon-empon dan keripik yang dikembangkan PKK dan Karang Taruna.
"Kalau kita rata-rata pengunjung yang datang dalam satu hari 300-500 orang," kata Sarija kepada Republika.
Walau Kedung Pedut sendiri setiap hari dibuka mulai 08.00-16.00, pengunjung biasanya paling banyak datang pada Sabtu atau Ahad. Meski begitu, selama ada pelonggaran mobilitas, pengunjung wisata alam ini masih wisatawan domestik.
Padahal, sebelumnya Kedung Pedut selalu laris didatangi pengunjung dari mancanegara. Mulai negara-negara dari Amerika, Eropa, sampai Timur Tengah. Namun, ia melihat, akses menuju wisata alam ini memang tidak mudah.
Sebab, sebaik apapun destinasi wisata jika akses ke sana tidak dikembangkan sulit dilirik wisatawan. Selama pandemi, kehadiran Yogyakarta International Airport (YIA) belum pula besar dirasakan pengaruhnya ke kunjungan wisata.
"Kalau dulu rata-rata 1.000 satu hari, malah pernah sampai 3.500," ujar Sarija.
Meski begitu, kini ia mengaku hanya bisa maklum mengingat kondisi seperti ini dialami pula destinasi-destinasi wisata lain selama pandemi. Karenanya, Sarija meyakini, ketika kondisi membaik kunjungan wisata bisa kembali seperti dulu.