REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Dua bulan sebelum Olimpiade Musim Dingin Beijing, para pemimpin Eropa terus ditekan aktivis hak asasi manusia untuk melakukan boikot diplomatik. Olimpiade Beijing diamati dengan ketat sejak masyarakat dunia marah atas perlakuan China pada atlet tenis Peng Shuai.
Peng menghilang dari hadapan publik sejak menuduh mantan petinggi Partai Komunis China melecehkannya. Kasus Peng yang meledak di seluruh dunia memaksa catatan pelanggaran hak asasi manusia China menjadi sorotan.
Aktivis dan politisi sudah mendesak untuk memboikot China atas pelanggaran hak asasi pada masyarakat minoritas Uighur dan aktivis pro-demokrasi Hong Kong. Kasus Peng memicu kembali desakan tersebut.
Kasus itu juga memicu perdebatan mengenai hubungan China dengan dunia olahraga setelah Asosiasi Tenis Perempuan (WTA) mencoret China dari daftar tuan rumah turnamen tenis di masa depan. WTA juga mengidentifikasi mantan wakil perdana menteri Zhang Gaoli sebagai pejabat yang dituduh Peng.
Beberapa aktivis mendesak pemerintah negara-negara Barat untuk melakukan biokot diplomatik. Selain atlet tidak ada diplomat, kepala negara, atau pemerintah yang terbang ke Beijing untuk menyaksikan pertandingan. Sejumlah pejabat Eropa menyetujui gagasan itu.
Pada Selasa (7/12) South China Morning Post melaporkan di Inggris gagasan tersebut didukung oleh Ketua Parlemen Jacob Rees-Moog. Ia mengatakan 'tidak ada tiket yang dipesan' untuk menteri Inggris menghadiri Olimpiade Musim Dingin.
Namun juru bicara kantor perdana menteri mengatakan pemerintah Inggris belum memutuskan mengenai perwakilan yang dikirim ke Beijing. AS sudah mengumumkan akan melakukan biokot diplomatik pada Olimpiade Beijing.
Australia mengatakan mereka juga masih mempertimbangkannya. Pekan ini Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menjadi pejabat tertinggi negara Eropa yang menyinggung tentang Olimpiade Musim Dingin di Beijing.