Selasa 07 Dec 2021 13:04 WIB

Perjalanan Aung San Suu Kyi dari Pahlawan Jadi Terdakwa

Suu Kyi yang terlibat gerakan demokrasi adalah pahlawan masyarakat Buddha Myanmar

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
 FILE - Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi berbicara selama kampanye pemilihan umum partai Liga Nasional untuk Demokrasi untuk pemilihan umum mendatang di Yangon, Myanmar pada 1 November 2015. Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan negara itu, Jenderal. Aung San, yang dibunuh pada tahun 1947, kurang dari enam bulan sebelum negara itu, yang saat itu bernama Burma, merdeka dari Inggris. Suu Kyi pindah ke New Delhi pada tahun 1960 ketika ibunya ditunjuk sebagai duta besar untuk India dan kemudian menghabiskan sebagian besar masa dewasa mudanya di Amerika Serikat dan Inggris. Karirnya di dunia politik dimulai pada tahun 1988.
Foto: AP/Khin Maung Win
FILE - Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi berbicara selama kampanye pemilihan umum partai Liga Nasional untuk Demokrasi untuk pemilihan umum mendatang di Yangon, Myanmar pada 1 November 2015. Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan negara itu, Jenderal. Aung San, yang dibunuh pada tahun 1947, kurang dari enam bulan sebelum negara itu, yang saat itu bernama Burma, merdeka dari Inggris. Suu Kyi pindah ke New Delhi pada tahun 1960 ketika ibunya ditunjuk sebagai duta besar untuk India dan kemudian menghabiskan sebagian besar masa dewasa mudanya di Amerika Serikat dan Inggris. Karirnya di dunia politik dimulai pada tahun 1988.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW - Pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi divonis empat tahun penjara. Pahlawan demokrasi itu diadili jenderal-jenderal yang menggulingkan pemerintahannya dalam kudeta yang menghentikan reformasi demokrasi yang ia perjuangan selama bertahun-tahun.

Vonis pemimpin berusia 76 tahun itu dipotong dua tahun penjara di tempat penahanan yang tidak diketahui lokasinya. Ia didakwa menghasut dan melanggar undang-undang bencana alam. Sejak kudeta 1 Februari lalu Suu Kyi didakwa puluhan pasal.

Baca Juga

Empat belas bulan sebelum kudeta ia menghadap ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag untuk membela jenderal-jenderal yang mengkudetanya atas dakwaan genosida tahun 2017 lalu. Penindakan militer tersebut telah memaksa ratusan ribu muslim Rohingya mengungsi.

Suu Kyi yang berperan dalam gerakan demokrasi merupakan pahlawan masyarakat Buddha Myanmar. Namun beberapa tahun terakhir negara-negara Barat mengkritiknya atas perlakukan militer pada Rohingya. Akan tetapi hal itu tidak memberi dampak negatif pada popularitasnya di dalam negeri.  

Dikenal sebagai 'Sang Nyonya', Suu Kyi memenuhi mimpi jutaan orang ketika partainya memenangkan pemilihan umum pertama pada 2015, saat ia mendirikan pemerintah sipil pertama Myanmar dalam setengah abad. Ia menghabiskan 15 tahun sebagai tahanan rumah dalam perjuangannya untuk demokrasi. Namun pemerintahannya harus hidup bersama dengan para jenderal yang masih menguasai pertahanan dan keamanan.

Pemerintah campuran itu gagal menyatukan Myanmar yang memiliki banyak kelompok etnis dan mengalami perang sipil selama puluhan tahun. Di bawah pemerintah Suu Kyi, pembatasan pada pers dan lembaga swadaya juga semakin ketat. Hal ini mengecewakan sejumlah mantan sekutunya.

Namun kemenangan keduanya dalam pemilihan umum November tahun lalu mengejutkan militer dan mereka pun merebut kekuasaan pada 1 Februari. Militer Myanmar menuduh pemerintahan National League for Democracy (NLD) mencurangi pemilu meski komisi independen membantah tuduhan tersebut.

Dakwaan pertama yang Suu Kyi antara lain melanggar peraturan pembatasan sosial Covid-19 dan memiliki talkie-walkie ilegal. Kemudian ia didakwa pasal yang lebih berat seperti korupsi dan melanggar Undang-undang Kerahasiaan Negara.

Kini ia didakwa puluhan pasal yang jika digabungkan ia dapat divonis 100 tahun lebih. Pengunjuk rasa turun ke jalan meneriakkan namanya. Mereka memanggilnya sebagai 'Mother Suu' meski sejak kudeta militer membunuh ratusan orang dan menangkap ribuan lainnya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement