REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michelle Bachelet mengecam hukuman terhadap Aung San Suu Kyi. Mantan pemimpin sipil Myanmar ini mendapatkan hukuman empat tahun penjara.
"Hukuman Penasihat Negara setelah pengadilan 'palsu' dalam proses rahasia di depan pengadilan yang dikendalikan militer tidak lain adalah motivasi politik," kata Komisaris Tinggi PBB untuk HAM ini, Senin (6/12).
"Ini bukan hanya tentang penolakan sewenang-wenang atas kebebasannya, ini menutup pintu lain untuk dialog politik," ujarnya dikutip dari Anadolu Agency.
Pengadilan militer di Myanmar sebelumnya memutuskan menghukum Suu Kyi dengan hukuman empat tahun penjara atas tuduhan melanggar pembatasan dan hasutan Covid-19. "Putusan terhadap Aung San Suu Kyi ini hanya akan memperdalam penolakan terhadap kudeta," kata Bachelet.
"Ini akan mengeraskan posisi ketika yang dibutuhkan adalah dialog dan penyelesaian politik yang damai dari krisis ini," ujarnya.
Keputusan ini lanjutan dari peristiwa kudeta 1 Februari, dengan militer Myanmar atau Tatmadaw menangkap Suu Kyi, menggulingkan Presiden Win Myint, dan banyak anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Sejak itu, Tatmadaw secara sewenang-wenang menahan lebih dari 10.000 lawan mereka. Setidaknya 175 orang dilaporkan telah meninggal dalam tahanan, kemungkinan besar karena perlakuan buruk atau penyiksaan.
"Militer berusaha untuk menggunakan pengadilan untuk menyingkirkan semua oposisi politik. Namun kasus-kasus ini tidak dapat memberikan lapisan hukum atas tidak sahnya kudeta dan kekuasaan militer," kata Bachelet.
Bachelet menyerukan pembebasan segera semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang. Termasuk orang-orang yang diadili dengan tidak adil dan mendapatkan tuduhan yang mengada-ada.
Pada 10 November, mantan menteri perencanaan negara bagian Kayin, Than Naing, dijatuhi hukuman 90 tahun. Sedangkan mantan kepala menteri negara bagian, Nan Khin Htwe Myint, mendapatkan dakwaan 75 tahun penjara atas tuduhan korupsi.
Kunjungi Kamboja
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Myanmar di bawah kepemimpinan militer, Wunna Maung Lwin, melakukan kunjungan ke Kamboja pada Selasa (7/12). Kunjungan tersebut berlangsung sehari setelah pemimpin terguling, Aung San Suu Kyi dihukum empat tahun penjara, atas dakwaan hasutan dan melanggar aturan Covid-19.
Wunna Maung Lwin bertemu dengan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di Istana Perdamaian di Phnom Penh. Asisten perdana menteri, Eang Sophalleth, mengatakan, Hun Sen dan Wunna Maung Lwin membahas hubungan bilateral, masalah ASEAN dan upaya untuk membangun kembali hubungan baik di dalam blok ASEAN.
Sementara itu, Wunna Maung Lwin menyerahkan undangan kepada Hun Sen undangan untuk berkunjung ke Myanmar pada 7-8 Januari. "Hun Sen akan menjadi pemimpin pemerintah pertama yang mengunjungi Myanmar sejak kudeta," ujar Eang Sophalleth.