REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya untuk mengejar target produksi minyak dan gas bumi (migas) terus dilakukan lantaran kebutuhan energi terus meningkat. Di sisi lain Energi Baru Terbarukan (EBT) yang digadang-gadang bisa menggantikan peran energi fosil belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dalam waktu dekat.
Belakangan ini isu transisi energi dalam rangka mencapai target Net Zero Emissions semakin gencar. Sektor hulu migas tentu jadi salah satu sorotan utama lantaran termasuk energi fosil yang hasilkan emisi karbon yang tinggi. Namun demikian, untuk di Indonesia ternyata tidak semudah itu meninggalkan migas.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran energi tahun 2025 diperkirakan mencapai 25 persen untuk minyak dan gas 22 persen dari total kebutuhan yang diperkirakan mencapai 400 million tonnes of oil equivalent (MTOE). Kemudian persentasenya menurun tahun 2050 untuk minyak 20 persen dan gas 24 persen.
Akan tetapi dari sisi volume, kebutuhan energi meningkat hingga mencapai 1.000 MTOE. Ini membuktikan bahwa peran energi fosil berupa migas dalam pemenuhan kebutuhan energi masih sangat krusial.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa saat ini dunia dihadapkan pada tantangan untuk mengendalikan pertumbuhan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Targetnya pada 2030, 45 persen emisi GRK di level 2010 bisa terpangkas, setelah itu turun menjadi Net-Zero di 2050/2060.
"Perusahaan-perusahaan minyak pun sudah beberapa punya target net zero emissions atau karbon netral di 2050," kata Fabby dalam keterangan pers tertulis, Selasa (7/12).
Menurut dia, salah satu emisi yang tinggi di industri migas adalah gas metana. SKK Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dituntut untuk dapat menekankan upaya penurunan gas metana ini.
“Metana punya Global Warming Potential sebesar 20x dari CO2. Jadi mengurangi gas metana, dari sudut pandang pengendalian emisi GRK sebenarnya lebih cost effective,” ungkap Fabby.
Fabby menjelaskan, Carbon Capture Utilization, Storage (CCUS) dikombinasi dengan EOR bisa dipakai untuk meningkatkan produksi migas. Hanya saja investasi CCUS itu cukup mahal, setara dengan 100-120 dolar AS per ton CO2. “Jadi kalau mau diberikan insentif bisa saja,” ujar Fabby.
Vorwata Enhanced Gas Recovery (EGR) CCUS di Papua ini akan menjadi proyek pertama di Indonesia. Melalui proyek ini, gas CO2 yang diproduksi akan dinjeksikan kembali ke dalam reservoir Vorwata untuk membantu meningkatkan produksi gas.
President BP Indonesia, Nader Zaki, menyatakan secara total, jumlah CO2 yang diinjeksikan akan mencapai 25 juta ton pada tahun 2035 dan 33 juta ton pada 2045. Dari sisi produksi gas, proyek ini berpotensi meningkatkan produksi gas sebesar 300 miliar kaki kubik (BCF) pada tahun 2035 atau mencapai 520 BCF pada tahun 2045.
Menurutnya saat proyek itu mulai beroperasi di tahun 2026 atau 2027, Kilang LNG Tangguh akan menjadi salah satu kilang LNG dengan tingkat emisi karbon terendah di dunia. "Dengan melakukan hal ini, kita akan meningkatkan produksi sekaligus mengurangi emisi karbon," ujar Nader.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto, disela The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 (IOG 2021), di Bali beberapa waktu lalu mengungkapkan tengah menyusun roadmap untuk pengelolaan lingkungan industri hulu migas di masa depan. SKK Migas melakukan bench marking dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat potensi strategi untuk mencapai target-target tersebut.
“Kami melakukan kajian melalui bench marking potensi kegiatan dan strategi yang akan dilakukan. Hasil bench marking akan digunakan untuk menyusun roadmap, sehingga dapat diketahui prioritas utama strategi untuk penurunan emisi karbon dalam rangka peningkatan produksi migas,” kata Dwi.