Rabu 08 Dec 2021 18:36 WIB

Israel Tuding Iran Buat Senjata Nuklir, Tapi CIA tak Temukan Bukti

Israel membuka opsi untuk menyerang Iran terkait pengembangan senjata nuklir.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
 Foto satelit dari Planet Labs Inc. menunjukkan fasilitas nuklir Natanz Iran pada hari Rabu, 14 April 2021.
Foto: ap/Planet Labs Inc.
Foto satelit dari Planet Labs Inc. menunjukkan fasilitas nuklir Natanz Iran pada hari Rabu, 14 April 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Israel berulang kali menuduh Iran sedang menyiapkan senjata nuklir. Mereka pun tak sepakat dengan perjanjian nuklir yang coba dibangkitkan kembali antara negara berpengaruh (P5+1) dan Iran. 

Namun badan intelijen Amerika Serikat (AS), Central Intelligence Agency (CIA), mengatakan mereka tak memiliki bukti bahwa Iran telah membuat keputusan untuk mempersenjatai program nuklirnya. Hal itu disampaikan saat AS tengah melanjutkan pembicaraan tentang pemulihan kesepakatan nuklir di Wina, Austria.

Baca Juga

 “(CIA) tidak melihat bukti apa pun bahwa Pemimpin Tertinggi Iran (Ali Khamenei) telah membuat keputusan untuk pindah ke persenjataan,” kata Direktur CIA William Burns kepada CEO Council Wall Street Journal, menurut CBS, dikutip laman Times of Israel, Rabu (8/12).

Menurut Burns, Iran pun belum menganggap serius pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau dikenal Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). “Kita akan segera melihat seberapa serius mereka,” ujarnya.

Bulan lalu, Iran mengumumkan telah hampir menggandakan stok uranium yang diperkaya dalam waktu kurang dari sebulan. “Kami memiliki lebih dari dari 210 kilogram uranium yang diperkaya hingga 20 persen, dan kami telah menghasilkan 25 kilogram pada 60 persen tingkat yang tidak dapat diproduksi oleh negara selain mereka yang memiliki senjata nuklir,” kata juru bicara Organisasi Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi.

Pengayaan 60 persen adalah langkah teknis singkat dari uranium yang diperkaya 90 persen. Pengayaan hingga mencapai angka tersebut dibutuhkan untuk memproduksi atau membuat senjata nuklir.

Namun, Iran berulangkali menegaskan bahwa nuklir mereka untuk kebutuhan energi bukan senjata. Sebaliknya Israel memandang Iran serius untuk membuat senjata nuklir. Tel Aviv pun membuka peluang untuk menyerang Iran jika negara-negara berpengaruh membiarkan Iran mengembangkan nuklirnya.

Setelah terhenti selama lima bulan, AS dan Iran akhirnya akan melanjutkan negosiasi pemulihan JCPOA di Wina pada 29 November lalu. Seperti enam putaran pembicaraan sebelumnya yang dimulai sejak April, AS berpartisipasi secara tidak langsung. Iran akan mengadakan pembicaraan langsung dengan sisa penandatangan JCPOA, yakni Inggris, Cina, Prancis, Rusia, dan Jerman.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan, penghapusan sanksi AS dalam pembicaraan pemulihan JCPOA sangat penting bagi negaranya. JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta Cina. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.

Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement