REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakordia (hari antikorupsi se-dunia) diperingati setiap 9 Desember. Hakordia ini sebagai momentum hari anti korupsi Internasional atau International Anti-Corruption Day.
Sejarah Hakordia internasional dimulai dari sidang umum menyetujui konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melawan korupsi (United Nationas Convention Againts Corruption-UNICAC). Melalui resolusi 58/4, majelis PBB kemudian menetapkan 9 Desember sebagai hari anti korupsi se-dunia, meski konvensi tersebut dimulai pada 31 Oktober 2003, akan tetapi diberlakukan desember.
Tentu, kata Ketua Komisi Informasi DKI Harry Ara Hutabarat, momentum ini tidak lepas dari peran keterbukaan informasi publik sebagai bagian pencegahan korupsi. Pencegahan di hulu menindak kecurangan di instansi pemerintah, terutama pemberantasan korupsi memerlukan upaya serius dari semua pihak.
"Pemberantasan korupsi di negeri ini tidak cukup hanya dilakukan di muara persolan. Yang utama adalah tindakan preventif. Keterbukaan informasi publik dapat ditempuh sebagai salah satu cara mencegah korupsi yang semakin mencengkeram," kata Harry dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Rabu 98/12).
Menurutnya, pencegahan tindak kecurangan jauh lebih efektif dari segi biaya, waktu dan tenaga yang lebih sedikit dibandingkan penindakan. Hasil yang dicapai dari kegiatan pencegahan, lebih optimal dibanding kegiatan penindakan. Hanya saja, kata dia, perlu keseriusan seluruh pihak untuk berupaya mengalakkan budaya pencegahan melalui keterbukaan informasi publik.
"Hakordia merupakan momentum kesadaran bersama transparansi badan publik. Jika semakin terbuka dengan menjalankan UU 14/2008 niscaya akan terhindar dari potensi korupsi dan menekan angka korupsi di Indonesia," kata Harry.
Data dihimpun Badan Pusat Statistik menyebutkan, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2021 sebesar 3,88 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2020 sebesar 3,84.
"Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, nilai indeks yang semakin mendekati 0, menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi," ujarnya.
Di level ASEAN, Indonesia diperingkat lima berada di bawah singapura. Transparency International Indonesia(TII) mengungkapkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonedia Tahun 2020 berada di skor 37.
Lebih lanjut, dia mengatakan, perlunya menggalakkan budaya cegah korupsi melalui keterbukaan informasi publik yang dapat dilakukan seluruh elemen bangsa. Pertama, peningkatan kapasitas SDM Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap Badan Publik diperkuat dengan anggaran yang memadai serta memanfaatkan teknologi digital untuk tata kelola data yang terpadu dan berkualitas.
Kedua, membangun persepsi yang sama membudayakan keterbukaan informasi sebagai acuan keberhasilan badan publik jalankan tranparasi informasi mulai dari level pimpinan sampai pelaksana. Ketiga, kolaborasi dan sinergi membangun Jakarta melalui peningkatan partisipasi dan kesadaran masyarakat akan hak atas informasi dengan memperluas keterlibatan peran aktif dalam proses perumusan kebijakan publik dari tingkat RT/RW sampai dengan Provinsi.
"Partisipasi masyarakat perlu didorong dan terus diadvokasi agar menggunakan haknya mendapatkan informasi secara proporsional dengan tujuan yang jelas," ucapnya.
Sebaliknya, badan publik meningkatkan komitmen dan dituntut kesungguhan, kepatuhan mewujudkan tranparansi dan akuntabilitas. Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, kata dia, sebagai lembaga independen yang bertugas mengawal pelaksanaan keterbukaan informasi publik di level Provinsi, memiliki tanggung jawab besar--terutama DKI Jakarta--sebagai baromoter tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi.
"Melalui KIP, instrument utama dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan transparan. Mari cegah korupsi melalui keterbukaan informasi publik," ucapnya.