REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perusahaan induk Facebook, Meta Platforms Inc pada Rabu (8/12), telah memperluas larangan unggahan terhadap perusahaan yang terkait dengan militer Myanmar. Di dalamnya termasuk halaman, grup, dan akun yang mewakili bisnis dikendalikan militer.
Direktur Kebijakan Asia-Pasifik Meta Platforms, Rafael Frankel, mengatakan perusahaan mengambil tindakan berdasarkan dokumentasi ekstensif oleh komunitas internasional, tentang peran entitas bisnis dalam mendanai junta militer. Secara tidak langsung, entitas bisnis tersebut ikut mendukung kekerasan berkelanjutan dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar.
Militer mengendalikan sebagian besar ekonomi Myanmar, melalui dua perusahaan induk besar. Karena tautan perusahaan tidak selalu jelas, Meta mengatakan bahwa pihaknya menggunakan laporan yang disusun oleh penyelidik PBB pada 2019 untuk mengidentifikasi perusahaan yang relevan.
Tindakan baru itu terjadi sehari setelah pengungsi Rohingya mengajukan gugatan terhadap Meta Platforms induk Facebook di California. Mereka meminta ganti rugi senilai lebih dari 150 miliar dolar AS, karena Facebook diduga gagal menghentikan unggahan kebencian yang menghasut kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya oleh militer Myanmar dan para pendukungnya pada 2017.
Tentara, yang dikenal di Myanmar sebagai Tatmadaw, melakukan kampanye kontra-pemberontakan brutal di negara bagian Rakhine, Myanmar barat. Operasi ini mendorong lebih dari 700 ribu etnis Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan di Bangladesh.
Para kritikus mengatakan, kampanye tersebut mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran. Selain itu, tindakan militer termasuk pembersihan etnis dan kemungkinan genosida.
Para aktivis mengatakan, militer menggunakan internet untuk menyebarkan disinformasi dan ujaran kebencian. Pada April, Facebook menerapkan kebijakan khusus untuk Myanmar yaitu menghapus pujian, dukungan, dan advokasi kekerasan oleh pasukan keamanan Myanmar dan pemrotes.
Grup Burma Campaign UK, menyambut baik langkah tersebut. Tetapi, mereka mencatat bahwa Facebook telah menolak untuk menghapus halaman perusahaan militer. “Keputusan yang terlambat untuk menghapus halaman perusahaan militer tampaknya lebih merupakan tindakan putus asa setelah dituntut 150 miliar dolar AS, karena terlibat dalam genosida Rohingya daripada kepedulian yang tulus terhadap hak asasi manusia,” kata Direktur Grup Burma Campaign UK, Mark Farmaner.
Menanggapi pelanggaran yang dilakukan terhadap Rohingya, Facebook pada 2018 melarang 20 individu dan organisasi yang terkait dengan militer termasuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Kemudian dari 2018 hingga 2010, Facebook menghapus enam jaringan akun yang dikendalikan oleh militer, yang tidak mengakui dukungan tersebut. Tahun ini, Facebook menonaktifkan halaman milik media pemerintah yang melanggar aturan Facebook tentang mempromosikan kekerasan dan merugikan orang lain.