Kamis 09 Dec 2021 03:32 WIB

4 Lembaga Kerja Sama Lawan Pembajakan

Keempat lembaga tersebut membuat MoU untuk membuat iklim penulis yang sehat.

Ketua Umum Satupena Denny JA menunjukkan berkas penandatangan MoU terkait dengan pembajakan.
Foto: istimewa/doc humas
Ketua Umum Satupena Denny JA menunjukkan berkas penandatangan MoU terkait dengan pembajakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA mengatakan di era pandemi Covid-19, kasus pembajakan hak milik intelektual justru meningkat. Sehingga perlu ada upaya sistematis  untuk mengurangi pembajakan.

Pernyataan ini disampaikan Denny saat MoU yang dilakukan empat lembaga, yaitu Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI),  Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Wanita Penulis Indonesia (WPI), dan Perkumpulan Penulis Indonesia (Satupena). Penandatangan dilakukan oleh Arys Hilman Nugroho (IKAPI), Free Hearty (WPI), Kartini Nurdin (PRCI), dan Denny JA (Satupena).

Baca Juga

Penandatangan dilakukan pada hari pertama  Indonesia International Book  Fair (IIBF), Rabu (8/12). Hadir di acara ini tiga lembaga pemerintah selaku pemangku kebijakan yaitu perwakilan Kemenparekraf, Kemendikbud, dan DJKI.

Berdasarkan data dari Analytics Firm Muso, menurut Denny, streaming ilegal untuk film saja, di era Covid-19 justru meningkat hingga 33 persen. Dijelaskannya, masyarakat yang perlu hiburan untuk mengatasi tekanan hidup di era pandemik, justru ikut  mendorong publik luas mencari film yang bisa ditonton gratis. “Walau dengan cara pembajakan,” Kata Denny dalam siaran persnya.

 

Kerugian yang diakibatkan oleh maraknya pelanggaran copy rights untuk streaming sungguh mencolok. Hanya di Amerika Serikat saja, kata Denny, kerugian per tahunnya mencapai 30 miliar dolar AS, yang setara dengan Rp.420 triliun.

Denny juga menyampaikan data pembajakan di Indoensia. Pada 2019,  menurutnya, IKAPI menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugian hanya dari 11 penerbit akibat pelanggaran hak cipta mencapai angka Rp.116,050 miliar.

Data yang dikumpulkan, dari buku yang beredar, sebanyak 54.2 persen penerbit menemukan buku produksi mereka dibajak.  Para pembajak itu bahkan melenggang menjualnya secara online.

Menurut Denny, penerbit asli tak akan mampu bersaing dengan pembajak. Di samping mereka pandai mengkemas produk bajakan itu, mereka pun berani menjualnya kurang dari separuh harga resmi.

"Kesulitan permanen dari kultur pembajakan ini, apalagi di Indonesia, karena publik luas memang merasa diuntungkan. Sementara UU yang ada menjadikan kasus pembajakan ini hanya delik aduan,” papar Denny.

Aparatur hukum, menurutnya, hanya bertindak jika ada aduan. Perusahaan online yang ikut menyediakan lapak bagi pelaku bajakan hanya diwajibkan menghapus lapak itu dari platform mereka, jika terbukti itu memang karya bajakan.

“Sejak hari pertama saya dipilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Persatuan Penulis Satupena dan Himpunan Penulis Hati Pena, isu pembajakan menjadi perhatian utama,” ungkap Denny.

Dalam tujuh program unggulan yang dicanangkan Denny, puncaknya adalah membentuk tim kerja yang khusus dan fokus. Tim ini hanya berupaya sebisanya ikut menciptakan iklim penulis yang sehat dari persoalan pembajakan, royalti dan pajak.

Gagasan ini disambut empat lembaga yang kemudian membuat kerja sama, yang dideklarasikan saat kegiatan Indonesia International Book Fair. “Ibarat burung yang akan lepas terbang tinggi, momen tanda tangan MoU itu adalah kepak sayap pertama burung itu,” kata Denny.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement