REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Prof Made Astawan, Guru Besar Teknologi Pangan IPB University mengatakan peran organisasi nirlaba penting untuk menggerakkan industri tempe di Indonesia. Misalnya Forum Tempe Indonesia yang didirikan sejak tahun 2008 memiliki misi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap tempe sebagai komoditas andalan. Terutama dalam perspektif budaya, bisnis, dan kesehatan.
Menurutnya, edukasi tempe sebagai warisan budaya Indonesia kepada masyarakat penting. Agar tempe dapat dihargai sebagai produk kesehatan dan dapat diapresiasi dengan harga yang pantas. Maka tempe harus diyakinkan sebagai produk yang menyehatkan.
“Rebranding tempe kepada generasi muda juga penting karena sebagian besar anak muda tidak terlalu peduli dengan produk asli bangsanya. Alasannya karena tempe dianggap ‘jadul’ dan murah. Sehingga penting untuk mendorong kegiatan yang dapat membangun semangat anak muda untuk mau menghargai tempe,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menambahkan pendirian Rumah Tempe Indonesia (RTI) yang diresmikan 6 Juni 2012 bertepatan dengan hari Tempe Nasional juga memiliki peran dalam industri tempe. RTI menjadi percontohan dan pusat pembelajaran bagi anggota Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (KOPTI) dan masyarakat luas tentang cara produksi tempe yang higenis menurut GMP (Good Manufacturing Process). Konsep RTI bahkan telah diadopsi dan diduplikasi di 29 provinsi.
Menurutnya, keberadaan RTI juga menarik minat pihak asing untuk berkunjung dan belajar membuat tempe. Tempe segar RTI didistrubsikan ke berbagai supermarket besar di Indonesia dengan label tempe sehat. Tempe tersebut dijual dengan harga lumayan tinggi daripada pasar tradisional.
“Artinya tempe bila diproduksi dengan cara yang higienis dan terbukti itu higienis maka akan bisa kita jual di modern market dengan harga yang pantas,” ujarnya dalam Webinar Propaktani berjudul “Kupas Tuntas Aneka Tempe Khas Indonesia” yang digelar oleh Kementerian Pertanian RI pekan lalu.
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar bahan baku tempe merupakan kedelai impor. Peluang kacang-kacangan lokal sebagai pengganti kedelai yang kaya akan lisin sebenarnya sangat menjanjikan.
Ia menilai pada dasarnya setiap jenis kacang bisa saja diolah sebagai tempe. “Melihat perkembangan produk tempe di luar negeri juga sudah sangat pesat, Indonesia seharusnya tidak boleh kalah saing,” ujarnya.
Ia mengatakan Indonesia masih harus berbenah terutama pada pengemasannya karena dinilai kurang menarik bagi calon konsumen. Terlebih adanya peluang meningkatnya permintaan tempe sebagai makanan vegetarian dan pangan fungsional oleh masyarakat dunia.
Menurutnya, tempe dapat dikenalkan kepada dunia sebagai superfood. Dukungan teknologi produksi dan pengemasan juga membuka peluang untuk peningkatan ekspor tempe. “Potensi pasar tempe saat ini, tidak hanya pada skala nasional, tetapi juga di tingkat regional dan global. Apalagi dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang semakin terbuka,” tambahnya.