REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Pekerja Transjakarta (SPTJ) mengungkap masalah sistem kerja pramudi atau sopir bus Transjakarta. Terutama terkait jam kerja pramudi yang dinilai kurang sesuai sehingga berpotensi menyebabkan mudah kelelahan.
SPTJ beranggapan, sistem kerja sopir bus Transjakarta selama delapan jam sehari sekedar kesepakatan di atas kertas. "Tapi fakta yang terjadi di lapangan ada juga teman-teman pengemudi kita itu bekerja melebihi dari delapan jam kerja," kata Ketua Serikat Pekerja Transjakarta (SPTJ) Jan Oratmangun kepada wartawan, Kamis (9/12).
Selain ihwal jam kerja yang berlebihan, Jan menuturkan manajemen pembagian jadwal jam kerja para pramudi bus Transjakarta juga bermasalah. Pembagian jam kerja yang tidak terkondisikan menyebabkan para sopir mudah kelelahan.
"Faktor lagi masalah pembagian jadwal, jam kerja pengemudi yang misalkan hari ini masuk siang, besok itu langsung jumping masuk pagi. Itu kira-kira yang jadi faktor pemicu kelelahan pengemudi," tuturnya.
Jan melanjutkan, hal lainnya yang menjadi masalah adalah terkait infrastruktur. Seperti penugasan bagi pramudi untuk mengisi bahan bakar di SPBU di luar jam kerja.
"Kadang teman-teman pramudi itu sudah pulang selesai menjalankan tugas di koridor, tapi harus ke Depo, harus mampir ke SPBU untuk melakukan pengisian bahan bakar juga. Itu salah satu faktor juga yang memicu kelelahan buat pengemudi, kan mereka harus antri berjam-jam di situ, terus pulang juga ke Depo, baru pulang ke rumah," ujar dia.
Diketahui, soal sistem kerja para sopir bus Transjakarta menjadi pertanyaan publik, mengingat sering terjadi kecelakaan bus Transjakarta di berbagai titik belakangan ini.