REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Hanya sekitar 35 menit Rachmat Gobel berada di bengkel seni Eri Sudarmono (42 tahun). Ia berburu dengan waktu. Bengkel itu ada di perkampungan di Bantul, Yogyakarta. Namun walau sekejap, Gobel sudah membuat wajah Eri dan 13 karyawannya tersenyum. “Pak Gobel memesan sejumlah robot. Nilainya lebih dari Rp 200 juta,” kata pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Sore itu, Jumat, 3 Desember 2021, Gobel mendarat di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali. Ia hendak menghadiri pembukaan Kongres Nasional ke-41 Syarikat Islam, organisasi yang dibesarkan HOS Tjokroaminoto dan didirikan Haji Samanhudi di Laweyan, Solo, pada 16 Oktober 1905. Ia sudah bertekad untuk ke bengkel seni Eri Sudarmono. Waktunya memang mepet. Karena hanya punya waktu empat jam untuk bolak-balik. Habis Isya ia harus menghadiri pembukaan kongres di Hotel Novotel, Solo. Maka ia harus berpacu dengan waktu. Bolak-balik ia tempuh sekitar 3,5 jam. Magrib sudah tiba di Solo lagi.
“Saya nonton liputan tentang Pak Eri di Metro TV. Saya memang menyukai budaya dan handicraft. Saya juga peduli pada UMKM. Jadi saya ke sini sebagai bentuk apresiasi dan kepedulian,” kata Gobel.
Di bengkel seni Eri, Gobel menyaksikan robot-robot yang sedang dibuat oleh Eri. Ada robot model megatron, ada robot yang sedang naik sepeda. Ada bumble bee dan beragam varian mirip dalam lakon film thriller Transformer. Ada robot kalajengking, dan sebagainya. Ia juga melihat lukisan-lukisan karya Eri di galeri bagian dalam. Yang menarik adalah jajaran sepeda motor rongsok yang berjumlah ratusan. Di ruang dalam ada puluhan sepeda motor bebek klasik yang masih berfungsi. “Saya memang pecinta sepeda motor klasik,” kata Eri.
Lalu apa kaitan sepeda motor rongsok itu dengan semuanya? Ya, robot-robot itu dibuat dari sepeda motor rongsokan itu. Sepeda motor itu dipreteli lalu dilas untuk dibentuk menjadi robot-robot. “Ide muncul dari material yang ditemukan, tapi juga bisa berdasarkan pesanan konsumen,” katanya. Jadi, jika Anda memiliki sepeda motor rongsok, jangan dibuang, tapi jual ke Eri. “Saya akan beli per sepeda motor,” katanya. Robot-robot itu umumnya memiliki ketinggian sekitar 3 m. Sebagian ada yang diberi ornamen warna-warni dan lampu warna-warni. “Saya sedang merancang robot yang bisa berjalan,” katanya.
Gobel sendiri memesan sejumlah robot. Salah satunya yang berbentuk samurai. “Mau saya taro di sekolah PAUD yang saya bangun di Gorontalo. Anak-anak pasti senang,” katanya. Gobel sedang membangun sekolah untuk anak-anak balita bertaraf internasional di Gorontalo. “Saya ingin anak-anak Gorontalo bisa mengenyam pendidikan usia dini seperti anak dan cucu saya,” katanya. Sekolah itu bukan berada di tengah kota, tapi di perkampungan pinggiran kota. Gorontalo adalah provinsi termiskin kelima di Indonesia. Karena itu, selain membangun sektor pertanian dan UMKM, Gobel juga berusaha meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya, dimulai dari anak-anak. Sekolah itu dilengkapi beragam aneka permainan, trek untuk berlari, dan tentu segala fasilitas dan sistem pendidikan yang maju dan modern. Saat menyaksikan tayangan Metro TV tentang karya seni Eri Sudarmono, ingatannya langsung melayang ke sekolah yang sedang ia bangun itu.
Eri adalah seniman serba bisa. Pria kelahiran 1979 itu memang sekolah seni di ISI Yogyakarta. Sambil kuliah ia nyambi membuat sablon, membuat maket, dan membuat diorama. Hal itu melatih keterampilannya dalam berkarya, apalagi ia juga bekerja di perusahaan periklanan. Pada 2006 ia mulai menekuni profesi sebagai pelukis. Namun pada 2010, ia juga merambah ke dekorasi event. Ia banyak membuat dekorasi di mal-mal dan di hotel-hotel, khususnya saat Natal, Imlek, Paskah, dan Lebaran. Ia juga terampil membuat dekorasi panggung untuk acara-acara televisi. Semua keterampilan itulah yang menjadi dasar kemampuannya membuat robot.
Sejak kapan membuat robot? Ternyata belum lama. Ia mulai membuat robot pada 2021 ini. “Awalnya dari permintaan buyer langganan lukisannya. Ia minta dibuatkan robot dari besi,” katanya. Namun sebagai seniman dan sebagai pehobi koleksi sepeda motor klasik, jiwa kreatif dan jiwa seninya tertantang. “Saya justru ingin membuat yang khas dan artistik, bukan sekadar robot, maka saya memilih bahannya dari motor bekas yang saya lihat banyak di pedagang rongsok,” katanya.
Pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu faktor ia menekuni pembuatan robot ini. “Orderan pembuatan dekorasi menyusut drastis,” katanya. Ternyata hasilnya bagus dan permintaan berdatangan. Per bulan ia bisa membuat lima robot. Bahkan permintaan dari luar negeri pun sudah berdatangan, yaitu dari Jerman dan Tiongkok. “Sekarang saya ada pesanan 40 robot dari Tiongkok,” katanya.
Apa kendala yang dihadapi? “Lahan saya sudah tidak ada lagi. Jika ada lahan saya sanggup memproduksi sepuluh per bulan, bahkan seratus pun bisa,” katanya. Saat ini ia mempunyai 13 karyawan. Mereka direkrut dari sekitar rumahnya saja, para tetangga.
Pada kesempatan itu, Gobel bertanya ke Eri, “Apakah sudah ada perhatian dari pemerintah?” Eri menjawab, “Belum ada Pak. Yang ada justru dari Malaysia. Mereka minta saya pindah ke Malaysia dan akan disediakan lahan yang luas dan juga modal.” Malaysia memang cerdik, padahal dari Malaysia belum ada satu pesanan pun. Hal itu mengingatkan Gobel pada pengalamannya dari pengrajin seni kayu dari Bandung yang ia bina. “Mereka pun ditawari Malaysia untuk pindah ke sana dan siap difasilitasi,” katanya.
Menurut Gobel, mestinya pemerintah memiliki kepedulian pada UMKM. Mereka inilah yang harus difasilitasi agar mereka berkembang pesat. Apalagi 99 persen usaha di Indonesia berskala UMKM. Mereka menyerap tenaga kerja yang sangat besar dan mereka juga lebih tahan terhadap krisis ekonomi. Duit mereka pun tak disimpan di luar negeri. Selain itu, mereka adalah para kreator, bukan makelar, bukan pencari rente ekonomi, dan bukan perusak lingkungan. “Bahkan Pak Eri ini memberikan nilai tambah terhadap benda-benda yang sudah menjadi sampah. Apa yang dibuat Pak Eri itu adalah pekerjaan seni,” katanya.
Di negara-negara maju dan negara-negara berkembang yang berhasil menjadi negara maju, kata Gobel, ditopang oleh kekuatan UMKM nya yang tangguh dan mendapat perhatian serta perlindungan dari pemerintahnya. “Kalau kita sedikit-sedikit impor. Akhirnya yang berkembang pencari rente ekonomi, bukan kreator ekonomi dan inovator ekonomi,” katanya. Itulah yang menjadi faktor tak berkembangnya industri di Indonesia. Saat Gobel menjadi menteri perdagangan, ia melarang impor pakaian bekas dan impor batik. “Itu membunuh industri konveksi rumah tangga dan pengrajin batik, tapi ya nasibnya cuma 10 bulan,” katanya sambil tertawa karena ia dicopot gara-gara kebijakannya banyak memihak ke UMKM dan pengaturan distribusi miras.
Usai berdialog dan memesan serta membeli sejumlah robot, para karyawan bengkel seni Eri Sudarmono pun meminta berfoto bersama dan berfoto selfie. “Saya kalau ke Yogya atau ke Jawa Tengah tak pernah bosan. Banyak pengrajin handicraft dan pengrajin seni. Ini kekuatan yang luar biasa,” katanya. Apa yang dilakukan Eri dan lain-lain merupakan ide brilian. “Menyulap barang rongsok menjadi produk seni yang sangat bernilail. Karena itu mereka harus didukung dan difasilitasi. Agar menjadi motivasi bagi para pengrajin lainnya,” katanya.
Saat di Bandara Adi Soemarmo, ia menyaksikan lampu-lampu gantungnya yang indah. Pengrajin logam di Jawa Tengah dan Yogyakarta memang sudah lama dikenal terampil dan artistik. Mereka inilah yang selama ratusan tahun memasok barang-barang kebutuhan keraton di Solo dan di Yogyakarta. Setelah berbincang dengan pegawai Angkasa Pura, ia bertekad akan datang ke pengrajinnya. “Indah sekali lampu gantungnya,” kata Gobel.