REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Islam memberikan keringanan kepada umatnya dalam menjalankan syariat, namun bukan berarti keringan tersebut justru disepelekan oleh Muslim apalagi sampai menanggalkannya. Salah satu keringanan adalah shalat qashar dan jamak dalam perjalanan.
Lantas perjalanan yang seperti apakah yang membolehkan seorang Muslim melakukan qashar dan jamak? Imam Syafii dalam Fikih Manhaji menjelaskan beberapa poin mengenai dua hal tersebut.
Pertama, perjalanan jauh yang jaraknya 81 kilometer atau lebih. Kurang dari itu tidak dianggap sebagai perjalanan yang membolehkan shalat qashar maupun jamak. Hal ini berdasarkan hadis muallaq bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalatnya dan tidak berpuasa dalam perjalanan empat Burd, yakni 16 farsakh atau 81 kilometer.
Orang seperti kedua sahabat itu melakukan sesuatu berdasar pada pengetahuannya dari Nabi Muhammad SAW.
Kedua, perjalanan yang dilakukan memiliki destinasi dan tujuan tertentu. Tidak termasuk perjalanan jika seseorang berangkat tanpa tujuan tertentu. Juga perjalanan seorang prajurit yang ikut komandannya tanpa tahu tujuannya ke mana. Ini berlaku bila perjalanan tersebut belum dianggap sebagai perjalanan jauh. Jika di tengah jalan ia harus mengqashar, maka tentulah perjalanan itu sangat jauh.
Ketiga, perjalanan tersebut tidak bertujuan maksiat. Jika demikian, itu tidak dapat dianggap sebagai perjalanan. Contohnya, orang yang mengadakan perjalanan untuk berbisnis khamar atau ribawi, atau untuk merampok.
Hal tersebut karenamengqashar merupakan sebuah keringanan yang disyariatkan untuk suatu hal yang sifatnya amanah. Sehingga tidak boleh (keringanan) itu diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. Artinya, tidak boleh disangkutpautkan dengan suatu hal berbau maksiat.