REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengecam oknum guru salah satu pesantren di kota Bandung yang melakukan tindakan kekerasan seksual kepada 12 santriwati. P2G menyarankan agar rekrutmen guru di lembaga pendidikan agama dievaluasi.
Anggota Dewan Pakar P2G, Rakhmat Hidayat, mengatakan karakteristik kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama umumnya dilakukan oleh guru atau pengasuh. Ia meminta rekrutmen pengasuh atau guru oleh yayasan harus mempertimbangkan aspek asesmen psikologi, kepribadian, dan sosial.
"Guru seharusnya memiliki kompetensi spiritual, sosial, emosional, dan kepribadian yang baik. Termasuk asesmen potensi perilaku seks menyimpang guru seperti pedofilia," kata Rakhmat dalam keterangan pers kepada Republika.co.id, Jumat (10/12).
Rakhmat menganjurkan Kementerian Agama (Kemenag) membuat aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaan. Ia berharap tidak hanya aspek pedagogi dan profesional yang dipertimbangkan.
"Nantinya pedoman ini dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru," ujar Rakhmat.
Rakhmat memaparkan, satuan pendidikan pesantren di Indonesia mencapai 33.980 pesantren. Satuan pendidikan madrasah sebanyak 83.468. Dan hanya 5 persen madrasah milik pemerintah, statusnya negeri, sementara 95 persen swasta. Data ini belum termasuk pesantren atau madrasah yang belum terdaftar di Kemenag.
"Tingginya kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama karena rendahnya pengawasan dari jajaran Kemenag," tegas Rakhmat.
Rakhmat meminta Kemenag mengecek ulang lembaga pendidikan berbasis agama yang belum terdaftar. Kemenag dan Kanwil Kemenag daerah wajib melakukan pengawasan sistematis dan berkala terhadap pesantren atau lembaga pendidikan agama yang tidak terdaftar.
"Kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama tidak hanya di lembaga formal yang sudah terdaftar, tetapi juga lembaga pendidikan yang belum terdaftar di Kemenag," singgung Rakhmat.