Ahad 12 Dec 2021 06:49 WIB

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Semakin Berat

Pandemi membuat mereka harus menghabiskan waktu belajar di rumah.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Ilham Tirta
Sejumlah anak berkebutuhan khusus dengan didampingi relawan membuat mural dinding kelas (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Muhammad Iqbal
Sejumlah anak berkebutuhan khusus dengan didampingi relawan membuat mural dinding kelas (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Pandemi Covid-19 menghadirkan tantangan pendidikan yang lebih besar terhadap layanan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Terutama setelah mereka harus menghabiskan waktu belajar di rumah.

Keterbatasan secara kognitif menjadi hambatan terberat bagi ABK untuk dapat ‘menjaga’  kemampuan yang sudah mereka dapatkan di sekolah. Belum lagi jika orang tua di rumah kurang bisa memahami kebutuhan putra-putri mereka yang berkebutuhan khusus.

Baca Juga

Hal ini terungkap dalam dialog hybrid bertajuk ‘Menjawab Kebutuhan Disabilitas di Masa Pandemi’ yang digelar Akatara JSA bersama dengan Unicef di Nalendro Cafe, Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (11/12).

Praktisi Forum Pendidik Madrasah Inklusi (FPMI), Ma’ruf Yuniarno mengatakan, dalam layanan pendidikan, anak dengan kebutuhan khusus masih terdiskriminasi, ketika sekolah masih lebih mengarusutamakan anak- anak yang memiliki kemampuan kognitif (kecerdasan). Persoalan semakin tidak sederhana bagi anak dengan kebutuhan khusus, ketika pandemi menjadikan pola layanan pendidikan menjadi berubah.

Sementara orang tua di rumah tidak bisa serta merta memainkan peran sebagai pendidik yang sangat mereka butuhkan. “Di sisi lain, tanpa pandemi pun, anak dengan kebutuhan khusus masih kesulitan mendapatkan pendidik yang benar- benar paham dan mengerti apa kebutuhan mereka sesungguhnya,” tambah Fasilitator Nasional untuk Pendidikan Inklusi ini.

Ma’ruf juga menegaskan, perhatian bagi anak dengan kebutuhan khusus jangan sampai terabaikan di masa pandemi seperti sekarang ini, agar layanan pendidikan yang sudah mereka dapatkan dan karakter kemampuan yang telah terbentuk tidak ‘memudar’ atau bahkan ‘hilang’. Mereka juga harus mendapatkan perhatian yang sama dengan anak- anak lainnya (yang lebih beruntung dari sisi fisik maupun kemampuan mental serta kognitifnya.

“Percayalah, tidak ada ‘produk gagal’ dari Tuhan, tinggal bagaimana kita semua peduli untuk bisa memenuhi kebutuhan dan menyelamatkan pendidikan mereka,” tegas Ketua Wilayah FPMI Provini DIY ini.

Education Officer Program Pendidikan Inklusi LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah, Miftahul Huda mengamini, pentingnya perhatian bagi ABK yang sedang menghadapi tantangan berat dalam mendapatkan layanan pendidikannya. Konsentrasi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus maupun anak perkebutuhan khusus sama- sama berat dengan berbagai kompleksitasnya.

Menurutnya, LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah telah mengembangkan Madrasah Inklusi di berbagai daerah yang mendapatkan amanah untuk memberikan hak- hak layanan pendidikan yang layak bagi ABK.

Bahkan LP Ma’arif tetap berkomitmen mengawal pendidikan inklusi dan menginginkan lebih banyak lagi madrasah yang menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) agar mendapatkan layanan pendidikan yang sama. Selain itu, juga terus mendorong agar anak- anak, yang memiliki kebutuhan khusus, tetap mendapatkan layanan pendidikan yang oprtimal, kendati di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Contohnya tidak jauh-jauh, di Kabupaten Magelang, khususnya di SLB Ma’arif Muntilan,  walaupun pandemi tetap menghasilkan anak- anak berkebutuhan khusus yang mampu berprestasi. “Seperti Musa, Juara 3 hafalan Alquran MTQ tingkat Jawa Tengah, Ayu juara vokal nasional tingkat SD tahun 2020 dan Yuanita yang mewakili kejuaraan sepakbola putri sampai di India,” tegasnya.

Pada kesempatan ini, Psikolog Klinis Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, Dwi Susilawati sepakat mengenai pemahaman terhadap apa saja yang menjadi kebutuhan ABK selama pandemi Covid-19 ini. Menurutnya, setiap anak memiliki keistimewaan yang berbeda- beda dan mereka yang berkebutuhan khusus dan memiliki kekurangan bukan berarti mereka tidak memiliki kemampuan lain yang lebih spesifik.

Orang tua harus bisa memahami apa yang menjadi kebutuhan anak- anak mereka yang berkebutuhan khusus, agar karakter dan kemampuan lebih yang dimiliki anak bisa dimaksimalkan.

Namun masih ada orang tua yang kemudian malu punya ABK atau bahkan menutup diri dan menganggap sebagai sesuatu yang tidak harus diketahui oleh orang lain. “Padahal, itu sangat dibutuhkan dalam assesmen agar putra- putri mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak,” ungkapnya.  

Sementara itu Chief Field Office Unicef Indonesia, Ermi Ndoen menyambut baik kegiatan diskusi yang digelar dan momentumnya juga bersamaan dengan Hari Disabilitas Internasional ini.

Sebab di tengah masyarakat banyak persoalan akibat pandemi Covid-19, tak terkecuali problem dalam hal layanan pendidikan bagi ABK. “Ternyata cukup kompleks dan tantangannya jauh lebih berat di masyarakat kita,” jelasnya.

Ia berharap Kegiatan dan inisiatif baik seperti ini akan mampu membuka cakrawala pandang dan pemikiran yang sama, bahwa anak berkebutuhan khusus harus tetap maksimal. “Anak- anak kita yang berkebutuhan khusus tetap mendapatkan layanan pendidikan yang layak di masa pandemi,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement