REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Youtuber yang juga artis Atta Halilintar harus belajar menangkal hoaks. Pasalnya, dalam kesehariannya, dia kerap menemukan berita bohong dari berbagai platform media sosial. Padahal, dia sendiri berkecimpung dalam medsos.
Dalam mempelajari berita hoaks itu, Atta mendalaminya dari buku karya Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Prof Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan "Demokrasi di Era Post Truth". Menurut Atta, buku yang ditulis oleh Budi Gunawan itu memberikan pelajaran terkait bermedia sosial dimana pembaca bisa belajar menyaring informasi dan tidak mudah percaya dengan hoaks.
"Buku karya dari Prof Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan ini sangat luar bisa. Zaman sekarang sangat perlu kita belajar agar tidak jadi tangan-tangan hoaks," kata Atta dalam keterangannya pada Ahad (12/12).
Atta mengaku, sering menemukan berita bohong di berbagai platform media sosial. Oleh sebab itu pengguna medsos perlu mencerna dan memilih informasi.
"Tinggal gimana kitanya sebagai anak muda bisa memilih-milih, melihat berita yang bagus dan enggak, serta mencernanya. Jangan langsung gampang mengunggah, itu bisa berakibat fatal untuk bangsa kita juga," ucapnya.
Atta menganggap, buku karya Budi Gunawan itu memiliki pesan agar masyarakat lebih teliti dalam membaca informasi. Selain itu, buku tersebut juga memiliki bahasa yang ringan dan mudah dipahami, serta memiliki visual yang menarik.
"Maka penting sekali, buku ini, dibaca untuk anak-anak muda," tegasnya.
Karena, menurut dia, banyak sekali pelajaran di dalamnya seperti perkembangan media sosial dan ada algoritmanya. "Yang anak muda inginkan seperti bahasa yang ringan, ada gambar, dan lainnya ada di sini," kata Atta.
"Buku 'Demokrasi di Era Post Truth' cocok untuk anak muda pada masa ini, untuk Indonesia lebih baik," lanjutnya. Buku tersebut sebelum telah dicetak pertama pada bulan April 2021 dan cetakan kedua terbit pada bulan Mei 2021.
Adapun buku tersebut membahas tentang disinformasi di era post-truth sebagai ancaman kesehatan demokrasi elektoral. Buku ini juga menyoroti ihwal keyakinan personal yang lebih penting daripada fakta objektif dalam membangun opini publik, sehingga antara kebohongan dan kebenaran sulit diidentifikasi.