REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan salah transfer dana mewajibkan pihak bank untuk segera membuktikan adanya kekeliruan transfer tersebut kepada penerima dan berbagai perlindungan berlaku untuk konsumen sebagai bentuk kepastian hukum. Hal ini dibahas pada diskusi yang diselenggarakan Indonesian Journalistof Law bertajuk "Kupas Tuntas Perlindungan Konsumen Dalam UU Transfer Dana" di Jakarta, Sabtu (11/12).
Dalam keterangan yang diperoleh di Jakarta disebutkan diskusi tersebut membahas esensi Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, yang selama ini menjadi hantu bagi setiap nasabah bank. Hadir sejumlah narasumber di antaranya pakar hukum Yahya Harahap, ahli risk management perbankan dan asuransi Batara Maju Simatupang, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sulastri, dan Direktur Institut Diponegoro Center Of Criminal Law Adhe Adhari.
Dalam kesempatan diskusi,Sulastri mengeluhkan soal ramainya kabar nasabah atau konsumen yang menerima transfer dana yang berujung pidana di pengadilan. Padahal, setiap konsumen yang menjadi nasabah bank memiliki hak konsumen yakni hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur juga jaminan keamanan dan kepastian hukum dari pelaku penyedia jasa keuangan.
"Ada dana yang masuk ke konsumen atau nasabah dan tidak diketahui dana dari mana, konsumen sudah menyampaikan kepada pelaku usaha bahwa menerima transfer, ini merupakan wujud itikad baik konsumen,"ungkapnya.
Menurut Sulastri, menjadi kewajiban penyedia jasa untuk menjelaskan kepada konsumen dana tersebut berasal dari mana, sehingga dalam keadaan ini konsumen tidak patut dipersalahkan selama ada bukti telah melakukan proses pelaporan kepada penyedia jasa sebagai bentuk iktikad baik.
Baca juga : Mengapa Larangan Minyak Goreng Curah Harus Dibatalkan?
Sementara itu,Yahya Harahap juga menyampaikan pandangan-pandangan hukumnya terkait UU Transfer Dana mengingat ada pasal yang mengancam pidana paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 5 miliar, bagi siapapun nasabah yang menerima transfer dana ke rekeningnya tanpa diketahui dari mana asalnya. Ahli hukum perdata dan hukum acara perdata ini juga mengulas Pasal 5 ayat (1) UU Transfer Dana yang menjelaskan bahwa dengan adanya "pengaksepan" dari penyelenggara penerima atas perintah transfer dana dari pengirim, maka tidak dapat dibatalkan sepihak.
Karena, telah ada kesepakatan dari penyelenggara penerima untuk melaksanakan perintah transfer dana dengan pengirim asal untuk diserahkan kepada penerima.
Sedangkan, Batara Maju Simatupang menegaskan bahwa setiap nasabah atau konsumen sah menerima pembayaran dari luar negeri atau dari mana pun, jika dalam waktu 90 hari tidak ada komplain dari bank. Hal itu disampaikan terkait keberlakuan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
"Dalam hal komplain tidak mendapatkan kejelasan, atau katakan tidak menemukan kesalahan dan telah melampaui kadaluarsa dalam pelaporan selama 90 hari," ungkap Batara yang telah lama menggeluti dunia perbankan dan asuransi."Berarti orang yang bersangkutan yang menerima uang dari pengiriman, dari katakanlah dari luar negeri atau dari manapun itu, yang bersangkutan sah sebagai pemilik dana, karena instruksi pembayaran sudah keluar dari yang memberikan perintah pembayaran, telah mengkreditkan rekeningnya, dan itu sah selama tidak ada bantahan dalam waktu 90 hari," paparnya.
Penjelasan ini menjadi dasar bagi setiap konsumen atau nasabah bank yang telah beritikad baik menyampaikan pelaporan kepada pihak bank atas transfer dana yang diterima namun tidak diketahui dari mana asalnya, sepanjang telah melampaui masa kedaluwarsa selama 90 hari.
Baca juga : Nataru 2022, Bank Mandiri Siapkan Uang Tunai Rp 20 T
Adapun, menurut Adhe Adhari, sanksi pidana dalam UU Transfer Dana adalah bersifat ultimatum remidium."Karena UU ini core-nya adalah UU bisnis, bukan UU pidana. Ketika ada sanksi pidana, maka pemberlakuannya harus diterapkan secara subsider berdasarkan asas The Subsiderity Of Penal Law," kata dia.
View this post on Instagram